Minggu, 06 Maret 2016

Membalikkan Telapak Tangan Ketika Berdoa Tolak Bala.



Pemandangan seperti ini sangat biasa sekali kita lihat ketika sholat subuh berjamaah di mesjid ketika seorang imam membaca qunut. Ketika awal doa di mulai, imam mengangkat tangan seperti biasa kita berdoa. Namun beberapa saat kemudian, ketika imam membaca doa yang isinya permohonan kepada Allah agar menjauhkan kita umat islam dari bala dan bencana, imam membalikkan tangannya dengan menjadikan punggung tangan mengahadap keatas dan telapak tangan menghadap kebahwa.
Nah bagaimana sebenarnya ulama memandang hal seperti ini?

Pada dasarnya terjadi perbedaan pendapat ulama tentang hukum mengangkat tangan ketika berdoa. Mayoritas ulama mengatakan hukum mengangkat tangan ketika berdoa adalah sunnah dan sebagian yang lain mengatakan makruh kecuali ketika sholat istisqa. Mereka berdalil dengan hadis yang diriwayatkan Anas yang menjelaskan bahwa nabi tidak mengangkat tangan ketika berdoa kecuali pada sholat istisqo saja. 

Namun banyak dari hadis lain yang mengatakan bahwa nabi mengangkat tangan ketika berdoa, seperti sebuah hadis yang mengatakan bahwa nabi mengangkat tangan ketika berdoa pada hari badar.


Nah ulama mengatakan, bahwa hadis di atas menjelaskan, tidak melihatnya Anas ketika Rasulullah mengangkat tangan ketika berdoa tidak dapat menafikan kalau dalam kesempatan lain nabi mengangkat tangan ketika berdoa sebagaimana di jelaskan oleh hadis-hadis yang lain seperti hadis di atas yang menjelaskan nabi mengangkat tangan ketika berdoa di saat perang badar.

Perihal membalikka telapak tangan ketika berdoa, Ibnu Hajar berkata bahwasannya ulama mengatakan " disunnahkan dalam setiap doa yang mengandung permohonan kepada allah agar menolak bala untuk mengankat tangannya dan menjadikan bagian belakang telapak tangannya menghadap ke langit, dan apa bila berdoa agar mendapatkan sesuatu, maka menengadahkan telapak tangannya ke langit".

Sejalan dengan itu perkataan Imam An-Nawawi ketika mensyarah Sahih Muslim ketika menjelaskan perkataan ulama tentang sunnahnya membalikkan telapak tangan saat berdoa menghadap tolak bala.

Dikatakan bahwa hikmah dari membalikkan telapak tangan saat berdoa tolak bala missal saat sholat istisqo dan bukan pada doa yang berupa harapan terhadap sesuatu, mengisyaratkan harapan agar Allah mengganti setiap bala dengan kebaikan.

Jadi sekarang tidak perlu asing lagi kalau kita melihat sebagian orang membalikka telapak tangan saat berdoa tolak bala, karena ulama menjelaskan kebolehannya. Namun begitu juga kepada yang biasa melakukannya jangan menyalahkan yang tidak melakukan hal demikian, karena hal demikian bukanlah hal yang wajib.


Semoga Allah melapangkan hati kita dan menyatukannya dalam satu ikatan ukhuwah dan dapat menghargai satu sama lain dalam hal-hal yang bersifat khilafiya. Aminn

Hukum bersalam-salaman setelah sholat jamaah



Bersalam-salaman antara sesama muslim ketika bertemu, merupakan sebuah hal yang disunahkan oleh Rasulullah SAW. Hal itu bertujuan untuk memperkuat dan  menyatukan rasa cinta antara sesama kaum muslim. Dalam hadis yang diriwayatkan oleh Imam Bukhori dan yang lainnya menjelaskan, bahwasannya bersalam-salaman dengan sesama muslim merupakan sebuah kebiasaan yang dilakukan oleh para sahabat ketika mereka bertemu dan Rasulullah SAW tidak mengingkarinya, akan tetapi hal tersebut merupakan hal yang sangat di sukai oleh Rasulullah SAW.

Rasulullah bersabda " Tidaklah di antara dua orang muslim yang ketika mereka bertemu dan saling bersalaman kecuali akan diampuni dosa-dosa mereka sebelum mereka berdua berpisah".

Bersalam-salaman setelah selesai sholat berjamaah tidak begitu dikenal pada masa Rasulullah SAW, akan tetapi kebiasaan ini muncul setelah wafatnya beliau. Orang yang hidup setelah beliua memahami bahwasannya keadaan orang yang sedang melakukan sholat berjamaah adalah keadaan dimana kita bersama Allah SWT dalam perjalanan ruhiah dalam bertaabud kepadanya. Kemudian akhir dari perjalanan ruhiah ini akan dipisahkan oleh sebuah ucapan salam yang sebagian orang memahami bahwa salam itu merupakan salam penghormatan terhadap para malaikat dan yang lainnya, karena mereka akan berpisah ketika sholat telah usai ditunaikan.

Terjadi perbedaan pendapat ulama terhadap amalan ini karena tidak adanya hal seperti ini pada masa Rasulullah SAW dan para sahabat_Nya.

Diantara mereka mengatakan ini merupakan bid'ah yang tercela ,mereka memahami setiap bid'ah itu merupakan tercela. Mereka ini merupakan orang-orang yang mempersempit makna bid'ah dengan menjadikan setiap hal yang tidak dilakukan Rasulullah SAW adalah tercela.  

Mayoritas ulama lain mengatakan, bersalam-salaman setelah sholat memang merupakan hal yang baru yang tidak ada pada zaman Rasulullah SAW, akan tetapi tidak ada dari mereka yang mengatakan hal itu tercela dan sesat, karena tidak ada dalil yang nyata mengatakan bahwa hal tersebut dilarang. Berapa banyak dari hal-hal yang baik yang tidak bertentangan dengan syariat terjadi di tengah masyarakat dan mereka bersemangat melakukannya karena hajat dan kebutuhan manusia terhadap amalan tersebut.

Dalam kitab " Ghozdaaul Albab" karangan Assafarini mengatakan bahwasannya suatu ketika Ibnu Taimiyah ditanya tentang hukum bersalam-salaman setelah sholat Asar dan Subuh, apakah hal ini merupakan sunnah yang dianjurkan atau tidak. Beliau menjawab, adapun bersalam-salaman setelah sholat merupakan bid'ah yang tidak pernah dilakukan oleh Rasulullah SAW dan tidak di sunnahkan oleh satupun dari ulama.

Assafarini berkata: Secara zahir dari perkataan Izzuddin bin Abdussalam dari ulama Syafi'iyah bahwasannya bersalam-salaman setalah sholat merupakan sebuah hal yang dibolehkan. Kemudian Imam Nawawi mengatakan bahwasannya hal tersebut merupakan sunnah, sebagaimana Hafiz Ibnu Hajar dalam syarah Bukharinya  berkata: Imam Nawawi berkata: Hukum asal bersalam-salaman adalah sunnah dan menjadikannya sebuah kebiasaan kemudian menjaganya dalam beberapa keadaan ( misal setelah sholat ) tidaklah keluar dari asal kesunahannya. Sebagaimana juga bersalam-salaman setiap kali selesai dari sebuah majelis ilmu dan semisalnya dari setiap bentuk perkumpulan dalam hal-hal kebaikan.

Dari dua pendapat tersebut, pendapat yang lebih kuat adalah yang mengatakan bahwasaannya bersalam-salaman setelah sholat  tidaklah haram, karena hal ini masuk kedalam keadaan ketika sesama muslim saling bertemu dan saling bersalaman. Allah akan mengampuni dengannya setiap dosa hingga mereka berpisah.

Kita berharap, perbedaan pendapat seperti ini tidak menjadikan perpecahan diantara sesama kaum mulimin. Sikap saling menghargai dan saling menghormati masing-masing pendapat adalah sikap yang seharusnya kita utamakan.

Dalam hadis Muslim secara jelas disebutkan bahwasannya barang siapa yang memulai sebuah perkara yang baik maka baginya pahala atas perbuatannya dan pahala setiap orang yang mengamalkannya sampai hari kiamat.


# Disarikan dari kitab " Mausuah Ahasan Al Kalam " karangan Syeikh 'Atiyah Soqr.

Nabi SAW Tidak Mengerjakannya, Lantas Haramkah? (2) Bagian Dua



Ijtihad Sahabat dalam beribadah setelah Rasulullah SAW wafat

Mungkin saja seseorang yang lain akan mengatakan, bahwasannya hal tersebut terjadi ketika masa pentasyriatan dan Rasulullah SAW masih hidup. Amalan sahabat kemudian menjadi syariat tak kala Rasulullah SAW membenarkannya.

Jawabannya: Kalaulah demikian pemahamannya, tentulah begitu banyak amalan sahabat yang melenceng dari syariat yang telah disyariatkan Rasulullah SAW. Sebab setelah wafatnya Rasulullah SAW, begitu banyak amalan-amalan yang dilakukan oleh para sahabat dari hasil ijtihad mereka sendiri tanpa dicontohkan oleh Rasulullah SAW sebelumnya.

Diantara contoh-contohnya:
-          Pengumpulan Al-Quran yang dilakukan pada zaman Abu Bakar atas usulan Umar bin Khatab. Awalnya Abu Bakar tidak menyetujui usulan Umar, begitu juga Zaid bin Tsabit. Abu Bakar berkata: " Bagaimana mungkin saya melakukan sesuatu yang tidak pernah dilakukan Rasulullah SAW". Kemudian Umar Bin Khatab memberikan penjelasan kepada Abu Bakar dan Zaid Bin Tsabit yang akhirnya Allah SWT memberikan pemahaman kepada mereka berdua dan menyetujui usulan Umar Bin Khatab dalam pengumpulan Al-Quran. ( Riwayat Imam Bukhari, Imam Ahmad dan Imam Tirmizi )

Kalaulah saja apa yang tidak dilakukan oleh Rasulullah SAW merupakan sesuatu yang diharamkan, tentulah Umar tidak akan pernah mengusulan pengumpulan Al-Quran kepada Abu Bakar dan Zaid.

Walaupun pada awalnya Abu Bakar merasakan kekhawatiran tersebut, namun Umar mencoba memberikan pemahaman dan Allah SWT kemudian melapangkan hati Abu Bakar dan Zaid dalam menerima usulan Umar Bin Khatab hingga akhirnya Al-quran dapat dikumpulkan.

Beberapa abad kemudian, para ulama kembali berijtihad dengan memberikan titik dan baris dalam setiap lafaz Al-Quran. Kalau lah hal itu sesuatu yang tercela, tentunya mereka lebih dahulu meninggalkannya.

-          Tindakan Umar bin Khatab mengumpulkan manusia dalam satu imam ketika melakukan sholat qiyam pada malam bulan Ramadhan dan saat itu Rasulullah telah wafat. Kemudian Umar Bin Khatab berkata : " Inilah sebaik-baik bid'ah ( hal baru).

-          Para sahabat dan tabiin mengeraskan suara mereka ketika bertakbir pada hari Idul Adha dan sepuluh awal bulan Zulhijjah. Kemudian mayarakat bertakbir seperti takbirnya mereka.

-          Qunut yang dilakukan Umar Bin Khatab, Usman bin Affan dan Ali bin Abi Thalib dan sahabat yang lain dengan qunut yang tidak di contohkan oleh Rasulullah SAW ( Riwayat Ibnu Abi Syaibah).

-          Usman bin Affan mengumandangnkan azan sebelum masuk waktu sholat jumat. (Riwayat Imam Bukhari, Imam Malik, Imam Nasai, Imam Abu daud, Imam Tirmizi dan Imam Ibnu Majah). Hal tersebut dikarenakan Madinah Munawarah pada masanya telah semakin luas dan masyarakat telah semakin banyak. Hal itu bertujuan agar manusia yang berada jauh bisa dengan segera bersiap untuk menyambut seruan jumat.

-          Penambahan yang dilakukan Abdullah bin Umar terhadap bacaan tasyahud dalam sholat. Ibnu Umar membaca tambahan " wabarokaatuh " dalam tasyahudnya . ( Riwayat Imam Abu daud).

-          Abu Dzar memperbanyak sholat sunnahnya tanpa melihat dan menetapkan jumlah rakaat sholatnya. Sebab ia berijtihad dari hadis yang mengatakan bahwasannya siapa yang sujud kepada Allah dengan satu sujud, maka akan dituliskan baginya kebaikan dan dihapus baginya kesalahannya dan diangkat derjatnya ( Riwayat Imam Tabrani).

Dan masih banyak yang lain amalan yang dilakukan para sahabat setelah wafatnya Rasulullah SAW yang tidak pernah dilakukan dan dicontohkan oleh Rasulullah SAW sebelumnya. Jikalah saja kita mengatakan semua yang tidak dilakukan oleh Rasulullah SAW adalah bid'ah yang tercela dan haram, maka sungguh kita secara lansung telah menuduh dan mengatakan para sahabat telah melenceng dari Sunnah Nabi SAW. Waiyazubillah.

Semua amalan yang dilakukan oleh para sahabat di atas bukanlah sesuatu yang melenceng dari syariat, akan tetapi itu adalah bagian dari syraiat itu sendiri. Semua ijtihad mereka tentunya selalu dilandasi dengan dalil-dalil syariat yang datang dari Al-quran dan sunnah. Inilah manhaj ulama salaf yang mesti senantiasa diwarisi hingga saat ini. Mereka berijtihad dalam menyelesaikan problem pada masanya dan kita juga berijtihad dalam menilai persoalan masa kini. Maka inilah sebenarnya tugas para ulama tersebut.

Merupakan sebuah ketergesa-gesaan menghukumi sebuah amalan dengan keharaman dan bid'ah hanya karena Rasulullah SAW tidak melakukannya. Kalaulah demikian, maka secara tidak lansung kita telah mengatakan Abu Bakar, Umar, Usman, Ali dan sahabat-sahabat lain adalah pelaku bid'ah. Waiyazubillah.

Mungkin saja akan timbul kembali pertanyaan: Bukankah Rasulullah SAW telah memberikan semacam  lisenci kepada Abu bakar dan Umar untuk diikuti. Oleh karenanya setiap yang dilakukan Abu bakar dan Umar adalah sesuai dengan sunnah Nabi karena telah mengikuti perintah Rasulullah SAW.

Jawabannya singkat saja:
Kalau Rasulullah SAW memberi semacam license kepada Abu Bakar dan Umar, bagaimana dengan sahabat yang lain, bagaimana dengan tabi'in dan bagaimana dengan tabi' tabiin. Apakah selain Abu bakar dan Umar dalah pelaku bid'ah karena nabi tidak memberikan license kepada mereka.

Kemudian mungkin saja mereka kembali akan mengatakan: Bukankah Rasulullah SAW telah mengabarkan bahwasannya sebaik-baik zaman untuk diikuti adalah masa beliau dan tiga qurun setelahnya.

Kami akan menjawab: Benar sekali, itu adalah tiga qurun terbaik yang disifati oleh Rasulullah SAW. Oleh karenanya, kita mesti mengikuti metode mereka dalam memahami setiap permasalahan yang muncul. Mereka para salafussaleh berijtihad tak kala menghadapi sebuah problem. Maka zaman mereka telah berlalu, sekarang adalah zamannya kita, maka ambillah semangat mereka dalam berijtihad dalam memecahkan setiap problem. Gunakan nalar kita menghukumi persoalan kekinian, bukan nalar mereka. Sebab seandainya mereka hidup pada zaman kita saat ini, tentu mereka juga akan berijtihad sesuai dengan keadaan zaman saat ini.

Yang membatasi sebuah hukum hanyalah kaedah-kaedah syariat yang qhot'i dan  muhkam yang berasal dari Al-Quran, Sunnah, Ijmak dan Qiyas. Bukan tergesa-gesa mengharamkan sesuatu hanya karena tidak pernah dilakukan oleh Nabi SAW. Wallahualam.


Disarikan dari kitab " Mafhum Al-Bid'ah " Karya Dr. Abdul Ilah Bin Husain Al-Afraj

Nabi SAW Tidak Mengerjakannya, Lantas Haramkah? (2) Bagian Satu



Ijtihad sahabat dalam beramal saat Rasulullah SAW masih hidup

Setiap yang tidak dikerjakan Rasulullah SAW tidak serta merta lansung dapat dihukumi sebagai sebuah keharaman. Namun hal tersebut belum terikat hukum syar'i yang kemudian tugas ulamalah menimbangnya dengan timbangan Al-quran, Sunnah, Ijmak dan Qiyas sebagai dasar dalam syariat.
Sebagaimana diketahui, dalam banyak hal Nabi SAW tidak mengingkari amalan para sahabat yang mana amalan tersebut tidak pernah dilakukan dan dicontohkan sebelumnya oleh Rasulullah SAW. Di sisi-sisi lain kita melihat, sebenarnya para sahabat bisa saja menanyakan lansung perkara tersebut kepada Nabi SAW melakukannya, sebab mereka hidup berdampingan lansung dengan Rasulullah SAW.

Diantara contoh-contohnya seperti:
-          Bilal bin Rabah mengiltizamkan dirinya untuk selalu bersegera berwudhu setiap kali ia berhadas, kemudian melakukan sholat dua rakaat. Beliau juga senantiasa melakukan sholat dua rakaat setiap kali setelah mengumandangkan azan, yang mana hal ini tidak pernah dicontohkan oleh Rasulullah SAW sebelumnya. Tak kala Rasulullah SAW mengetahui hal tersebut, Rasulullah SAW tidak menyalahkan amalan yang dilakukan Bilal, justru malah mengabarkan kepada Bilal ganjaran surga disebabkan amalan yang ia lakukan tersebut. ( Riwayat Imam Ahmad, Imam Tirmizi dan Imam Al-Hakim)

-          Khabib bin 'Adi melakukan sholat dua rakaat sebelum ia dibunuh dan akhirnya perbuatannya tersebut menjadi sunnah hasanah bagi setiap muslim. ( Riwayat Imam Bukhari dan Imam Ahmad), yang mana hal ini tidak pernah dicontohkan dan diperintahkan oleh Nabi  SAW sebelumnya.

-          Salah seorang sahabat mengiltizamkan membaca surat Al-Ikhlas disetiap rakaat sholat malamnya, yang mana hal ini tidak pernah dicontohkan oleh Nabi SAW sebelumnya. Amalan sahabat tersebut didengar oleh Abu Said Al-Khudri dan beliau mengadukannya kepada Rasululla SAW. Maka Rasulullah SAW tidak mengingkarinya dan bersabda: " Demi jiwaku yang berada dalam genggamannya, sesungguhnya ia –surat Al-ikhlas- sama dengan sepertiga Al-Quran ". ( Riwayat Imam Bukhari dan Imam Tirmizi).

-          Salah seorang sahabat dari Anshor menggabungkan surat Al-Ikhlas dengan surat lain disetiap rakaat sholatnya ketika mengimami sahabat lain di mesjid Quba. Sebagian sahabat merasa hal tersebut aneh dan mengadukannya kepada Rasulullah SAW. Kemudian Rasulullah SAW menanyakan alasannya melakukan hal demikian, maka ia menjawab " Saya menyukai surat tersebut wahai Rasulullah ". Maka Rasulullah SAW bersabda: " Kecintaanmu padanya akan mengantarkanmu kedalam surga". ( Riwayat Imam Bukhari dan Imam Tirmizdi ).

-          Di antara sahabat menambah sebahagian zikir ketika bangkit dari rukuk ketika mereka sholat di belakang Rasulullah SAW. ( Riwayat Imam Bukhari, Imam Muslim, Imam Ahmad, Imam Nasai, Imam Abu Daud, Imam Tirmizi, dan Imam Al-Hakim).

-          Munajat seorang sahabat dalam sholatnya kepada Allah SWT dengan doa yang tidak diajarkan oleh Rasulullah SAW sedangkan waktu itu Rasulullah SAW berada dekatnya. Dalam sholatnya sahabat ini berdoa " Allahumma inni as aluka bianna lakal hamdu, la ilahailla anta… . Tak kala Rasulullah mendengarnya maka beliau bersabda: " Sesungguhnya ia telah berdoa dengan nama Allah yang maha besar, yang mana jika berdoa dengannya, doanya akan diijabah dan jika meminta dengannya akan diberi" ( Riwayat Imam Bukhari dan Imam Muslim dll ).

-          Banyak sekali bentuk ijtihad para sahabat ketika  meruqyah dan Rasulullah SAW tidak mengingkarinya.

Dapat disimpulan dari hadis-hadis di atas, bahwasannya pada dasarnya jenis ibadah yang dilakukan para sahabat diatas dan tatacaranya telah ada dan disyariatkan sebelumnya, seperti wudhu, sholat, membaca al-quran, berdoa, azan dan lain-lain. Akan tetapi para sahabat berijtihad pada furu'-furu' ibadah tersebut.

Seperti berwudhu setiap kali hadas, sholat setelah wudhu, sholat sebelum dibunuh, membaca surat Al-Ikhlas setiap kali akan membaca surat dalam sholat, berdoa dan berzikir dengan lafaz yang tidak dicontohkan oleh Nabi SAW, azan awal di hari jumat dan lain-lain.

Dapat dipahami, semua hadis di atas juga menjelaskan bahwasannya para sahabat melakukan suatu amalan tanpa sebelumnya menanyakannya kepada Rasulullah SAW tentang hukumnya. Tidak sebelum melakukannya dan tidak juga setelahnya, padahal Rasulullah SAW berada dekat dengan mereka. Akan tetapi para sahabat berijtihad dalam beramal dan Nabi SAW tidak mengingkari hasil ijtihad mereka tersebut. Bahkan sebahagian mereka diberikan kabar gembira terhadap amalan ijtihad mereka dengan ganjaran yang sangat besar.

Mungkin seseorang akan berkata: "Nabi SAW telah menyetujuinya dan membenarkan amalan mereka, maka ia secara tidak lansung telah menjadi As-Sunan At-Taqiriah ( Sunah yang ditetapkan )".
Maka jawabannya adalah: Bahwasannya yang menjadi objek pengambilan dalil dan mahaj dari amalan sahabat di atas di dasari oleh dua hal:

Pertama: Tindakan sahabat melakukan sebuah amalan yang tidak dicontohkan Nabi SAW. Walaupun sebenarnya mereka bisa dengan mudah menemui Rasulullah SAW dan menyakannya lansung, karena mereka hidup berdampingan lansung dengan Rasulullah SAW.
Ketika mereka melakukan sebuah amalan dengan ijtihad mereka, para sahabat tidak ada yang memahami bahwa amalan yang mereka lakukan tersebut adalah bid'ah yang tercela, hanya karena Nabi SAW tidak melakukannya. Kalaulah para sahabat memahami hal tersebut tercela, tentulah mereka telah terlebih dahulu meninggalkannya.


Kedua: Tindakan Rasulullah SAW ketika menetapankan dan menyetujui amal-amal para sahabat dari hasil ijtihad mereka sendiri. Bahkan Rasulullah SAW mengabarkan mereka dengan ganjaran yang sangat besar dari amalan tersebut. Hal ini adalah dalil yang sangat jelas bahwasannya sesuatu yang tidak dikerjakan oleh Nabi SAW tidak menunjukkan keharaman, sebagai mana pemahaman sebagian orang. Kalaulah saja hal yang demikian haram, maka setiap apa yang dilakukan oleh para sahabat diatas adalah haram dan bid'ah yang sesat, karena Nabi  tidak pernah melakukannya. Waiyazubillah. Bersambung kebagian dua klik disini

Nabi SAW Tidak Mengerjakannya, Lantas Haramkah? (1) Bagian Tiga




Pemahaman sahabat terhadap sesuatu yang didiamkan oleh Nabi SAW.

Para sahabat tidak memahami bahwasannya sesuatu yang didiamkan oleh Nabi SAW menunjukkan kepada keharaman, namun mereka memahami sebaliknya, bahwasannya hal tersebut halal dan dimaafkan.

Dapat dipahami dari atsar yang ada, bahwasannya para sahabat takut menyanyakan sesuatu hal yang tidak pernah disebutkan oleh Nabi SAW, karena bisa jadi pertanyaan mereka akan menyebabkan diwajibkannya hal tersebut atau diharamkannya.

Diantara sebab Rasulullah SAW melarang umatnya agar tidak banyak bertanya adalah:
1.      Sesuatu yang asalnya Mubah, namun karena pertanyaan mereka hal tersebut bisa menjadi diharamkan Allah SWT kepada mereka. Rasulullah SAW mengatakan merekalah orang yang paling besar kejahatannya kepada muslim lainnya.

Rasulullah SAW bersabda:
إن أعظم المسلمين في المسلمين جرما لمن سأل عن شيء لم يحرم عليهم, فحرم عليهم من أجل مسألته
" Sesungguhnya orang islam yang paling besar kejahatannya kepada muslim yang lainnya adalah orang yang bertanya tentang sesuatu yang semula tidak diharamkan, kemudian diharamkan disebabkan pertanyaan mereka tersebut". ( Riwayat Imam Bukhari, Imam Muslim, Imam Abu daud dan Imam Hakim)

2.      Sesuatu yang asalnya tidak wajib, maka karena pertanyaan mereka tersebut, Allah SWT mewajibkannya dan akhirnya menyusahkan mereka. Sayidah Aisyah mengatakan bahwasannya Nabi SAW kadang meninggalkan suatu malan yang  sebenarnya beliau sangat menyukai amalan tersebut dikarenakan beliau khawatir umatnya akan mengikuti dan menyebabkan akan diwajibkannya bagi mereka. Seperti nabi meninggalkan Qiyam Ramadhan, karena takut diwajibkan oleh Allah SWT bagi umatnya.

Oleh karena alasan-alasan di atas Rasulullah SAW mewanti-wanti umatnya agar tidak banyak bertanya dalam persolan-persoalan yang telah didiamkan oleh Allah SWT dan Rasulnya SAW.
Dalam sebuah hadis lain dikisahkan bahwasannya Rasulullah SAW bersabda: "Sesunggguhnya Allah telah mewajibkan kepada kalian untuk menunaikan Haji ". Maka Sahabat bertanya: " Apakah setiap tahun wahai Rasulullah". Maka Rasulullah SAW sersabda: " Jika saja saya mengatakan Ya, maka ia akan diwajibkan atas kalian".  Maka turunlah Al-Quran surat Al-maidah ayat 101 yang menjelaskan larangan untuk tidak banyak bertanya.

Inilah diantara sebab larangan Nabi SAW agar tidak banyak bertanya dan alasan beliau SAW meninggalkan sebagian dari amalan. Bukan karena haramnya bertanya, akan tetapi untuk mengedepankan maslahah bagi umatnya. Maka At-Tarkun Nabi SAW bukanlah dalil untuk pengharaman sesuatu, akan tetapi hal tersebut tidak ada dalil yang menunjukkan kepada satu hukum. Maka hal itu kembali kepada hukum asalnya yaitu dimaafkan dan dibolehkan.

Dapat disimpulkan bahwasannya setiap sesuatu yang ditinggalkan oleh Nabi SAW - ada maksud meninggalkannya- hal tersebut tidaklah dihukumi wajib. Bisa jadi hal tersebut menjadi haram, makruh, mubah atau mustahab. Akan tetapi beliau meninggalkannya untuk menjelaskan kebolehan untuk meninggalkan hal tersebt atau kekhawatiran beliau SAW memberatkan umatnya atau karena maslahah yang lain yang terkandung di dalamnya.

Disamping penjelasan panjang lebar di atas, secara umum kaidah  " At-Tarku Yadullu Ala At-Tahrim" telah terbantahkan oleh hadis-hadis berikut berikut ini:
Rasulullah SAW bersabda:
دعوني ما تركتكم, إنما أهلك من كان قبلكم سؤالهم و اختلافهم على أنبيائهم , فإذا نهيتكم عن شيء فاجتنبوه , وإذا أمرتكم بأمر فأتوا منه ما استطعتم. ( رواه مالك و البخاري و مسلم و أحمد و النسائى)

" Biakanlah apa yang aku tinggalkan untuk kalian. Sesungguhnya yang membinasakan umat sebelum kalian adalah karena banyaknya pertanyaan mereka dan (banyaknya) penyelisihan mereka kepada para nabi mereka. Maka apabila aku melarang sesuatu kepada kalian, tinggalkanlah. Dan apabila aku memerintahkan sesuatu kepada kalian, kerjakanlah semampu kalian "

Rasulullah SAW bersabda:

إن الله حد حدودا فلا تعتدوها , وفرض لكم فرائض فلا تضيعوها , و حرم أشياء فلا تنتهكوها , و ترك أشياء من غير نسيان من ربكم , ولكن رحمة منه لكم , فاقبلوها ولا تبحثوا فيها . ( رواه الحاكم و الدار قطني )

" Sesungguhnya Allah telah menetapkan batasan-batasan maka janganlah kalian melanggarnya dan telah menetapkan kewajiban-kewajiban dan janganlah kalian melalaikannya dan mengharamkan sesuatu maka jangan kalian melanggarnya dan mendiamkan sesuatu bukan karena tuhan kalian lupa akan tetapi sebagai rahmat darinya untuk kalian. Maka terimalah dan janganlah kalian mencari-cari tentangnya ".

Rasulullah SAW bersabda:

ما أحل الله في كتابه فهو حلال , وما حرم فهو حرام , و ما سكت عنه فهو عافية , فاقبلوا من الله العافية , فإن الله لم يكن نسيانا. ( رواه الحاكم )
" Apa saja yang Allah halalkan dalam kitabnya maka hal tersebut adalah halal dan apa saja yang diharamkan maka hal tersebut adalah haram dan apa saja yang ia diamkan maka hal tersebut dibolehkan, maka terimalah kemaafan dari Allah. Sesungguhnya Allah tidaklah lupa sedikitpun"
Hadis-hadis di atas telah jelas menjelaskan apa saja yang didiamkan oleh Allah dan Rasulnya penjelasannya, maka semua itu masuk kepada sesuatu yang di maaafkan dan dilapangkan. Oleh karenanya tidak boleh seseorang mengharamkannya hanya karena Rasulullah SAW tidak mengerjakannya. Akan tetapi hal tersebut jaiz dan boleh sampai datang dalil syar'iyah yang menunjukkan keharamannya. Waallahualam.


Disarika dari kitab " Mafhum Al-Bid'ah " Karya Dr. Abdul Ilah Bin Husain Al-Afraj dan kitab " Al-Maskut 'Anhu Syar'an " Karya Prof.Dr. Muhammad Anwar Fayyumi.

Nabi SAW Tidak Mengerjakannya, Lantas Haramkah? (1) Bagian Dua


As-Sunnah At-Tarkiyah ( Sesuatu yang sengaja ditinggalkan Nabi SAW)

Pada dasarnya sebagai umat Nabi Muhammad SAW, setiap hal yang ditinggalkan oleh nabi  mesti juga kita tinggalkan sebagai bentuk qudwah kita dalam mengikuti Rasulullah SAW. Maka hal ini disebut sebagai As-Sunnah At-Tarkiyah. Yang dimaksud dengan As-Sunnah At-Tarkiyah disini adalah sesuatu yang ditinggalkan oleh Nabi SAW, baik itu berupa perkataan atau perbuatan. Namun dengan syarat adanya maksud atau kesengajaan  beliau meninggalkannya.

Sebab bagaimana mungkin kita bisa mensifati sesuatu yang ditinggalkan oleh Nabi SAW merupakan sebuah Sunnah, kalau beliau sendiri tidak ada maksud meninggalkannya. Maka apa bila Rasulullah SAW meninggalkan sesuatu karena memang maksud dan kesengajaan beliau, maka itu merupakan syariat bagi umatnya. Baik itu berupa wajib, sunnah, mubah atau makruh tergantung qarinah yang menunjukkannya.

Contoh  dari As-Sunnah At-Tarkiyah yang wajib, seperti yang diriwayatkan oleh Imam Bukhori dan Muslim bahwasannya As-Sho'bu bin Jutsama berburu himar wahsy untuk Rasulullah SAW dengan maksud menghadiahkannya kepada beliau. Namun Rasulullah SAW menolaknya karena beliau sedang berihrom. Imam nawawi menjelaskan bahwasannya daging binatang buruan yang diburu oleh seseorang yang sedang berihrom atau diburukan untuk dia yang sedang ihrom, maka hukumnya haram baginya memakan daging binatang hasil buruannya.

Kemudian contoh As-Sunnah At-Tarkiyah yang Sunnah, seperti amalan Rasulullah SAW ketika meninggalkan Istilam kepada Rukun Iraqi dan Syami ketika tawaf. Tidak Istilamnya Rasulullah pada Rukun Iraqi dan Rukun Syami merupakan kesengajaan dengan dalil, bahwasannya Rasulullah  SAW hanya istilam kepada Rukun Yamani dan Hajar Aswad saja disetiap kali tawaf.

Contoh dari As-Sunnah At-Tarkiyah yang mubah, seperti Nabi SAW tidak memakan danging Ad-Dhobt. Bukan karena keharaman dagingnya, akan tetapi binatang tersebut tidak biasa dimakan di tempat beliau. Namun Rasulullah SAW tidak melarang sahabat yang lain untuk memakannya.

Dan masih banyak lagi hadis-hadis lain yang menjelaskan bahwasannya sesuatu yang ditinggalkan oleh Nabi SAW ( At-tarkun Nabi ) tidaklah menunjukkan keharaman. Namun akan menghasilkan hukum yang berbeda sesuai dengan qarinah-qarianah yang menunjukkan kepadanya.
Diantara contoh yang lain adalah:
1.      Nabi SAW (meninggalkan) untuk tidak mengerjakan Sholat Tarawih sebulan penuh, karena takut mewajibkan kepada umatnya. ( Riwayat Imam Malik, Imam Bukhari, Imam Muslim, Imam Ahmad dan Imam Abu Daud)
2.      Nabi SAW (meninggalkan) untuk tidak memerintakan umatnya bersiwak ketika wudhu dan sholat karena takut memberatkan umatnya. (Riwayat Imam Malik, Imam Bukhari, Imam Muslim, Imam Ahmad, Imam Nasai', Imam Abu Daud, Imam Tirmizi dan Imam Ibnu Majah )
3.      Nabi SAW (meninggalkan) tidak mengakhirkan sholat  Isa karena takut menyusahkan umatnya. (Riwayat Imam Ahmad, Imam Tirmizi, Imam Hakim, dan Imam Baihaqi )
4.      Nabi SAW (meninggalkan) untuk tidak merenofasi Ka'bah karena takut terjadi fitnah setelah beliau. (Riwayat Imam Bukhari, Imam Muslim, Imam Nasai dan Imam Tirmizi )

Jadi dapat disimpulkan bahwasannya setiap sesuatu yang ditinggalkan oleh Nabi SAW dengan adanya maksud beliau meninggalkannya bukanlah sesuatu yang diwajibkan. Karena kalaulah sesuatu itu wajib, mengapa Nabi SAW meninggalkannya, akan tetapi hukumnya akan dapat dilihat dari qarinah atau petunjuk yang mengantarkannya kepada hukum tertentu.

Bisa hukumnya menjadi sunnah seperti meninggalkan buang air kecil berdiri, bisa menjadi mubah seperti memakan daging Ad-Dhob, bisa menjadi makruh seperti Istilam kepada Rukun Iraqi dan Syami atau bisa jadi haram seperti memakan hasil binatang buruan, bagi yang sedang ihram yang diburukan untuknya.

Adapun Sesuatu yang ditinggalkan tanpa adanya maksud atau sama sekali tidak dikerjakan Nabi SAW, maka sangat jauh sekali kalau disimpulkan hal tersebut sebagai sebuah keharaman. Bersambung ke bagian tiga klik disini

Nabi SAW Tidak Mengerjakannya, Lantas Haramkah? (1) Bagian Satu



Ketika mencoba membuka pembicaraan tentang sebuah persoalan yang sering dibahas akhir-akhir ini, rasanya tidak akan pernah habis dan tidak akan pernah tuntas selama kita tidak pernah mencoba membuka hati dan pikiran terhadap hujjah dan pendapat orang lain. Ketika kita masih mengedepankan egoisme dan menutup pikiran, maka kebenaran yang datang dari orang lain akan sulit masuk dan hampir saja akan mustahil kita terima.

Telah banyak kita mendengar dan membaca penjelasan para ulama tentang persoalan-persoalan yang  sebenarnya tidak semestinya dipermasalahkan dan diributkan lagi, sebab agama islam sendiri telah memberikan peluang dan kesempatan kepada para mujtahid dan ulama untuk berijtihad dari dasar hukum itu sendiri sesuai dengan ketentuan-ketentuan yang telah ditetapkan. Allah SWT dan Rasulnya SAW tidak menjelaskan dengan rinci setiap permasalahan yang ada dan zaman selalu berkembang dan memunculkan hal-hal yang baru, maka disinilah peran para mujtahid dan para ulama dalam menjawab persolan yang berkembang. Mereka menimbang setiap hal dengan timbangan yang akurat yaitu Al-quran dan Sunnah.

Namun walaupun demikian, sebagian orang dan kelompok terkesan memaksakan pendapat mereka kepada orang lain, sehingga tak kala mereka mendapati adanya perbedaan pendapat walaupun perbedaan itu terjadi sendiri dikalangan salaf, dengan mudah mereka mencap sebagai ahli bid'ah. Secara tidak lansung juga mereka telah mengatakan banyak diantara ulama salaf adalah pelaku bid'ah. Waiiyazubillah.

Inilah pembahasan masalah bid'ah yang hingga dasawarsa ini tak pernah menemukan titik temu dan memang tidak akan ada titik temu selama kita masih mengedepankan rasa tassub, bukan mengedepankan hujjah dan kebenaran.

Salah satu titik yang sangat mencolok yang menjadi hujjah bagi mereka adalah menjadikan timbangan setiap hal dengan apa yang tidak dilakukan Rasulullah SAW. Bukankah seharusnya yang sebaliknya dengan menjadikan timbangan sebuah amalan dengan yang apa yang amalkan oleh Rasulullah SAW, baik yang beliau kerjakan atau yang beliau sengaja tidak mengerjakannya.

Numun karena perkataan ini telah sangat banyak didengan, sekarang timbul sebuah pertanyaan besar dalam benak kita, benarkan setiap hal yang tidak dikerjakan oleh Rasulullah SAW adalah bid'ah yang sesat dan haram?

Dalam tulisan singkat ini, kita akan mencoba mengupasnya dengan dalil-dalil dari hadis dan amalan para salafus shaleh. Semoga tulisan ini diberkahi dan di redhoi Allah SWT. Amin…

At-Tarku La Yufidhu At-Tahrim ( Yang ditinggalkan Nabi SAW tidak menunjukkan keharaman )

Mayoritas ulama membagi bid'ah ( hal baru ) kepada lima macam, sebagai mana yang disebutkan oleh Sultan  Al-Ulama, Izzuddin Bin Abdus Salam dalam kitabnya Qowaid Al-Ahkam. Syeikh Izzuddin mengatakan, sesuatu yang baru yang tidak ada pada zaman Nabi SAW meliputi hukum yang lima, rincian hukum tersebut dapat diperoleh dengan cara menimbangnya  dengan Qowaid Syariah yang telah ada.

Sesuatu yang baru yang belum terjadi pada zaman Nabi SAW tersebut bisa menjadi wajib, seperti pengumpulan Al-quran dalam satu mushaf. Bisa menjadi sunnah seperti pendirian madrasah, bisa menjadi mubah seperti bersalam salaman setelah sholat berjamaah, bisa jadi makruh seperti menghiasi mesjid dengan berlebihan dan bisa jadi haram seperti munculnya mazhab qodoriah, mujassimah dan jabariyah.

Namun sebagian orang, sebagaimana yang disebut oleh Dr. Al-Arfaj dalam kitabnya  Mafhum Al-Bidah sebagai  Almudoyyiquun Lima'na Bid'ah yaitu orang-orang yang mempersempit makna bid'ah. Mereka berpendapat bahwa setiap yang tidak dilakukan oleh Rasulullah SAW dan sahabatnya adalah bid'ah yang sesat. Dengan dalih, kalau lah saja hal tersebut baik tentunya mereka telah mengerjakannya terlebih dahulu.

Mereka dengan cepat bisa menyimpulkan, jika tidak dikerjakan Rasulullah SAW dan salafus saleh maka hal itu terlarang atau haram. Kemudian muncullah sebuah kaedah At-tarku Yaqtadi At-tahrim yang berarti, sesuatu yang tidak dilakukan-oleh Nabi SAW- menunjukkan keharaman ).  Namun apakah benar setiap yang tidak dilakukan Rasulullah SAW dan salafussaleh adalah haram?

Para ulama mencoba mengkaji kitab-kitab Ushul Fiqh yang merupakan sebuah disiplin ilmu yang mesti dan wajib dimiliki oleh seorang mujtahid. Sebab ilmu ini pokok atau podasi bagi setiap mujtahid dalam menimbang sebuah persolan yang ada. Namun tidak satupun dari ulama Ushul Fiqih dalam kitab-kitab mereka yang mengatakan bahawa At-tarku Yaqtadi At-tahrim ( sesuatu yang tidak dilakukan menunjukkan keharaman ).

Justru yang ada ditemukan adalah kaedah An-Nahyu Yufidu At-Tahrim (sebuah larangan menunjukkan keharaman). Namun ulama Usul Fiqh sendiri juga berbeda pendapat dalam hal ini, apakah asal dari sebuah larangan ( An-Nahyu) menunjukkan keharaman atau makruh saja. Pendapat ketiga juga ada yang berpendapat tawaquf sampai ada qarinah atau dalil yang menunjukkannya kepada  keharaman atau makruhannya.

Berbicara tentang Al-Matruk ( sesuatu yang ditinggalkan-oleh Nabi-) ulama membaginya kepada dua macam:
1.      Sesuatu yang ditinggalkan -oleh Nabi- tanpa ada maksud ( Ma taroka min ghairi qasdin)
2.      Sesuatu yang ditinggalkan -oleh Nabi-  karena ada maksud –meninggalkannya- ( Ma taroka biqosdin)

Adapun yang pertama, jelas tidak ada kandungan hukumnya. Ia tidak menunjukan kepada keharamannya dan tidak kemakruhannya, akan tetapi hal tersebut bukanlah sesuatu yang dijadikan sebagai petunjuk dan dalil.

Sebagaimana fatwa Syeikh Ibnu Taimiyah dalam Majmu' Fatawanya : Tidak boleh seseorang mengatakan makruh hukumnya masuk kedalam  hamamat ( tempat pemandian) atau tidak disunnahkan memasukinya hanya karena Rasulullah SAW tidak pernah memasukinya, tidak juga Abu Bakar, tidak juga Umar. Akan tetapi hal tersebut akan menjadi sebuah hujjah jika Rasulullah  SAW dan sahabat melarang memasukinya atau bermaksud menjauhinya atau mereka mungkin saja untuk memasukinya akan tetapi sengaja tidak memasukinya. Sebagaimana diketahui, bahwasannya hamam tidak ada ditemui di Hijaz waktu itu. Maka tidak sah jika kita menghukuminya makruh atau tidak disunnahkan masuk ke hamamat (tempat pemandian) hanya disebabkan karena tidak masuknya Nabi SAW ke tempat tersebut.

Sebagaimana juga setiap yang diciptakan Allah SWT di dunia ini dari makanan, pakaian, kendaraan dan tempat tinggal, tidak semuanya ada di Hijaz tempat Nabi SAW tinggal. Nabi tidak memakan setiap jenis makanan, tidak memakai semua jenis pakaian. Akan tetapi kaum muslimin yang hidup di Mesir, Syam, Iraq, Yaman, Khurasan, Azerbaijan, Mahgrib dan tempat yang lain, memiliki makanan dan pakaian yang khas dan biasa mereka pakai.

Walau demikian, mereka tidak memahami bahkan tidak ada terlintas dalam benak mereka untuk meninggalkan semua itu demi mengikuti sunnah Rasulullah SAW hanya karena beliau tidak pernah memakan makanan mereka dan tidak memakai pakain seperti yang mereka pakai.


Kemudian adapun yang kedua, yaitu adanya maksud Nabi SAW untuk meninggalkannya, sebaimana juga disebut sebagai  As-Sunnah At-Tarkiyah. Hal ini tampak dari perbuatan beliau SAW. Misalnya dengan menahan diri, menjauhi dan menghindar dari hal tersebut. Namun tidak serta merta lansung menghukuminya menjadi haram, akan tetapi perlu dikaji dan diteliti dari qorinah-qorinah yang ada dengan Qowaid Ahkam yang telah ditetapkan para ulama. Apakah hal tersebut haram, makruh dan mubah. Disinilah objek kajian para ulama Usul Fiqih dan Ahli Fiqih. Bersambung ke bagian dua. klik disini