Rabu, 01 April 2015

Kewajiban Untuk Bermazhab (Mengikuti Ulama Mujtahid)

Setelah Rasulullah saw wafat, tongkat estafet kepemimpinan islam diwariskan kepada para sahabat yang sebelumnya telah mengenyam pahit manisnya hidup bersama Rasulullah saw. Maka diangkatlah Abu Bakar As-siddiq sebagai khalifah pengganti Rasulullah saw  berdasarkan hasil kesepakatan para sahabat yang mulia. Perjalanan masa dan waktu memunculkan persoalan-persoalan penting yang sebelumnya belum pernah tejadi pada zaman Rasulullah saw, membuat para sahabat mesti menjawab persoalan itu. Mulai dari Abu Bakar memerangi orang-orang yang enggan membayar zakat dan ijtihad Umar bin Khatab dalam mengumpulkan umat muslim untuk bersama-sama sholat berjamaah taraweh di masjid pada bulan ramadhan. Selain dua khalifah ini, mucullah duta-duta islam dari kalangan sahabat yang mendapatkan didikan lansung dari Rasulullah saw untuk menjawab dan menjelaskan agama ini kepada orang-orang awam dari sahabat.

Telah masyhur di kalangan ulama dan orang awam nahwasannya tidaklah semua sahabat memiliki kemampuan untuk berijtihad dalam urusan agama terkhusus dalam persoalan fiqih. Akan tetapi hanya sebagian kecil saja dari mereka yang mempunyai kapasitas untuk itu. Karena keterbatasan itu, maka sebagian dari sahabat menanyakannya persoalan-persoalan yang tidak mereka pahami kepada sahabat-sahabat yang memiliki kemampuan untuk menjawabnya, semisal  Abu Bakar, Umar bin Khatab, Usman bin Affan Ali bin Abi Tholib, Zaid bin Tsabit, Abdullah bin Abbas, Muaz bin Jabal dan sahabat-sahabat lainnya.

Masa berlanjut dan waktu berganti, maka datanglah generasi penerus dari sahabat yaitu generasi tabi'in. Pada masa ini muncullah dua madrasah yaitu Madrasah Al-hadits di Hijaz dan Madrasah Ar-ro'yi di Iraq. Dua madrasah ini kemudian menjadi mazhab rujukan dalam persoalan fiqih dan kemudian disebut dengan Mazhab Ahli Hadis dan Mazhab Ahli Ro'yi . Maka muncullah ulama-ulama unggulan dari Madrasah Ro'yi seperti Ilqimah bin Qois An-Nakho'i, Masruk bin Al Ajda' Al Hamdani dan Ibrahim bin Zaid an-Nakhoi' dan  dari madrasah Hadis lahir ulama-ulama seperti Said bin Al-Musayyab Al- Makhzumi, Urwah bin Zubair, Salim bin Abdullah bin Umar, Sulaiman bin Yasar dan Nafi' bin Umar.

Setelah berakhirnya masa tabiin, muncullah para mujtahid-mujtahid hasil didikan dari dua madrasah ini. Lahirlah dari rahim dua madarasah ini seperti Imam Abu Hanifah bin Nu'man, Imam Malik bin Anas, Imam Syafi'i dan Imam Ahmad bin Hanbal.  Kemudian saat ini kita lebih mengenalnya dengan Al-Mazhab Al-Arba'ah.

Berabad-abad lamanya umat musim di dunia hidup dengan konsep fiqih yang disajikan oleh imam-imam mujtahid ini. Tentunya mereka mengahasilkan ijtihad-ijtihad itu setelah mengkaji dengan dalam isi al-Quran dan Sunah dengan keilmuan yang memadai. Bukan sebagaimana dituduhkan oleh orang-orang yang mengingkari bermazhab, bahwasannya mazhab-mazhab ini adalah produk baru yang ingin menyaingi mazhabnya Rasulullah saw.

Kemudian pada masa-masa terakhir ini, muncul sekelompok orang yang mengajak umat muslim untuk meninggalkan mazhab yang empat ini dan mengkampanyekan untuk kembali kepada al-Quran wa as-Sunah 'ala fahmi salafi al-Ummah. Tapi hakikatnya mereka bukan memahami al-Quran dan sunah sebagaimana pemahaman salaf al-Ummah, akan tetapi memahami al-Quran dan sunah sebagaimana pemahaman mereka sendiri.

Dengan sangat mudah mereka mengatakan bahwa, semua mazhab-mazhab yang ada saat ini adalah sebuah perkara bid'ah yang tidak ada pada zaman Rasulullah saw dan tidak ada satupun dalil yang mewajibkan kita untuk mengikuti imam-imam mazhab ini. Dalam kesempatan lain mereka juga berhujjah atas keharaman bermazhab dengan hujjah bahwasannya di dalam kubur nanti, kita tidak akan pernah ditanya oleh malaikat apa mazhab yang kita ikuti, jadi untuk apa bermazhab toh nanti juga tidak akan di tanya di kubur.

Ternyata gayung bersambut, kemunculan kelompok ini menimbulkan gejolak di tengah masyarakat islam karena "hal baru" yang mereka bawa ini. Bagaimana tidak, setelah umat islam merasa nyaman beribadah dengan bermazhab kepada imam-imam mujtahid ini, tiba-tiba mereka datang dengan mengharamkannya. Hanya karena mereka tidak menemukan dalil sorih perintah untuk mengikuti ulama-ulama tersebut dalam al-Quran dan sunah. Sebab mereka tidak menemukannya, maka mereka menganggap tidak ada kewajiban bagi kita untuk mengikuti mazhab-mazhab tersebut karena tidak ada dalilnya, bahkan merupakan sebuah dosa jika mengikutinya. Akan tetapi mereka mengatakan yang wajib kita ikuti hanyalah adalah al-Quran dan sunah bukan pendapat-pendapatnya ulama.- Subhanallah.

Pendapat mereka ini jelas menyalahi ijma' ulama dan umat islam yang telah berabad-abad lamanya menyepakati kebolehan bermazhab ini. Bahkan merupakan sebuah kewajiban bagi orang awam untuk mengikuti mazhabnya mujtahid. Bagaiman tidak, seseorang yang tidak memiliki kapasitas keilmuan dan kemampuan yang cukup, tidak mungkin bisa memahami dalamnya kandungan makna al-Quran dan sunah. Maka haram baginya berijtihad dalam urusan agama jika tidak memiliki ilmu yang cukup.
Allah SWT telah memberikan kewajiban masing-masing kita. Bagi seorang mujtahid sudah menjadi kewajibannya menyelesaikan persoalan agama dan mengungkap kedalaman  isi kandungan al-Quran dan sunah  dengan ilmu yang ia punya. Bagi orang awam yang tidak punya ilmu, maka kewajibannya adalah mengikuti jalannya mujtahid dalam memahami al-Quran dan sunah, bukan memaksakan diri untuk menjadi mujtahid dan memahami isi al-Quran dan sunah tanpa dasar dan ilmu.

Terus bagaimana dengan dakwaan-dakwaan mereka yang mengingkari bermazhab, apakah memang benar dakwaan-dakwaan tersebut? Apakah benar seorang muslim tidak wajib mengikuti mazhab? Benarkah sebuah keharaman jika kita mengikuti Mazhab Imam Abu Hanifah, Mazhab Imam Malik, Mazhab Imam Syafi'i dan Mazhab Imam Ahmad dalam fiqih dan tempatnya di neraka bagi pengikutnya? Terus bagaimana nasib jutaan umat islam yang selama berabat-abat mengikuti ulama-ulama mujtahid yang mulia ini? Apakah nanti neraka akan dipenuhi oleh mereka yang bermazhab seperti Imam Nawawi Asyyafi'I, Imam Ibnu Hajar al-Asqolani Assyafi'I, Imam Ibnul Qoyyim Al Hanbaly berdasarkan dakwaan mereka? Apakah benar sesuatu yang tidak ditanya di dalam kubur menjadi standar sebuah hal yang disyariaatkan dan diperbolehkan?


Dalam bukunya yang berjudul " Allaamazhabiyah Akhtoru Bid'ah Tuhadidu As-syariah Al-Islamiyah", Doktor Muhammad Sa'id Ramadhan Al-buuthy seorang ulama Syiria telah membantah semua tuduhan-tuduhan bid'ah tersebut. Dalam buku yang terdiri dari 174 ini, beliau mengemukakan jawaban tuduhan-tuduhan palsu itu. Hasilnya begitu banyak tuduhan-tuduhan yang tidak berdasar. Begitu banyak tahrif dan penyelewengan terhadap perkataan ulama, yang sebenarnya ulama-ulama rahimahumullah tidak pernah mengatakan hal itu seperti yang mereka dakwakan. Semoga Allah SWT memberikan petunjuk kepada mereka semua dan kembali mengikuti jejak ulama dalam meniti jalan yang telah tinggalkan oleh Allah SWT dan Rasulullah saw, Amin…

2 komentar:

  1. Assalamualaikum wr wb.. Ustad.

    Saya setuju bahwa mazhab merupakan sebuah jalan yang lebih tepat untuk memahami bagaimana islam yang diajarkan Rasulullah SAW, bukan dengan pemahaman sendiri seperti yang terjadi di sebagian kalangan ummat.

    Mungkin sedikit menambahkan, bahwa tidak mengikuti mazhab adalah keliru, karena Allah SWT telah memerintahkan.

    Taatilah Allah, taati Rasul dan Ulil Amri diantara kamu. Saya setuju bahwa ulil amri yang dimaksud adalah pemimpin yang memenuhi kriteria pemimpin dalam islam, antara lain beragama islam, dan memiliki ilmu agama yang bagus, dan keahlian lainnya seperti ilmu pemerintahan, politik dll. Karena jika pemimpin secara umum, maka akan ada pemimpin yg berasal dari golongan non islam dan tidak harus kita ikuti,karena Allah melarang.

    Jadi saya juga pernah bercerita dengan sebagian dari anti mazhab. Saya menyimpulkan bahwa dengan menolak mengikuti ulama besar dan hanya mengikuti Al-quran dan hadist, sebenarnya mereka sedang mengingkari perintah Allah dalam Alquran itu sendiri, karena dalam Alquran ada perintah untuk Taat kepada Allah, taat kepada Rasul dan ulil amri min kum... Ikuti Ijtihad adalah satu jalan taat pada ulil amri.

    Lagian sudah berapa banyak waktu dalam hidup kita untuk dedikasi pada agama dibandingkan para imam mazhab? Apakah dengan modal 100 hadis dan hafalan alquran kita sudah bisa menandingi pemahaman ahli mazhab yang hafal beribu hadist shahih, hasan, hingga yang lemah? Patut dioertanyakan, bukan begitu uatad??

    Semoga kita selalu ditunjukkan jalan yanglurus..

    Amin..

    BalasHapus
    Balasan
    1. Masyaallah barokallahu lak Dil.
      Iya benar dil, justru untuk saat ini dengan keterbatasan ilmu yang kita miliki, cara memahami Al-quran dan As-sunnah yang paling aman adalah dengan pemahaman yang sebagaimana dipahami oleh para imam mazhab dan ulama.

      Kita ini kerdil tak punya apa-apa. Apa hanya dengan sekedar membaca terjemahan al-quran dan hadis kita mungkin memahami isi kandungannya, jelasnya tentu sangat jauh hehehehe...

      Barokallah laka Dil =D

      Hapus