Ketika
mencoba membuka pembicaraan tentang sebuah persoalan yang sering dibahas
akhir-akhir ini, rasanya tidak akan pernah habis dan tidak akan pernah tuntas
selama kita tidak pernah mencoba membuka hati dan pikiran terhadap hujjah dan
pendapat orang lain. Ketika kita masih mengedepankan egoisme dan menutup
pikiran, maka kebenaran yang datang dari orang lain akan sulit masuk dan hampir
saja akan mustahil kita terima.
Telah banyak
kita mendengar dan membaca penjelasan para ulama tentang persoalan-persoalan
yang sebenarnya tidak semestinya
dipermasalahkan dan diributkan lagi, sebab agama islam sendiri telah memberikan
peluang dan kesempatan kepada para mujtahid dan ulama untuk berijtihad dari
dasar hukum itu sendiri sesuai dengan ketentuan-ketentuan yang telah ditetapkan.
Allah SWT dan Rasulnya SAW tidak menjelaskan dengan rinci setiap permasalahan
yang ada dan zaman selalu berkembang dan memunculkan hal-hal yang baru, maka
disinilah peran para mujtahid dan para ulama dalam menjawab persolan yang
berkembang. Mereka menimbang setiap hal dengan timbangan yang akurat yaitu
Al-quran dan Sunnah.
Namun
walaupun demikian, sebagian orang dan kelompok terkesan memaksakan pendapat
mereka kepada orang lain, sehingga tak kala mereka mendapati adanya perbedaan
pendapat walaupun perbedaan itu terjadi sendiri dikalangan salaf, dengan mudah
mereka mencap sebagai ahli bid'ah. Secara tidak lansung juga mereka telah
mengatakan banyak diantara ulama salaf adalah pelaku bid'ah. Waiiyazubillah.
Inilah
pembahasan masalah bid'ah yang hingga dasawarsa ini tak pernah menemukan titik
temu dan memang tidak akan ada titik temu selama kita masih mengedepankan rasa tassub,
bukan mengedepankan hujjah dan kebenaran.
Salah satu
titik yang sangat mencolok yang menjadi hujjah bagi mereka adalah menjadikan
timbangan setiap hal dengan apa yang tidak dilakukan Rasulullah SAW. Bukankah
seharusnya yang sebaliknya dengan menjadikan timbangan sebuah amalan dengan
yang apa yang amalkan oleh Rasulullah SAW, baik yang beliau kerjakan atau yang
beliau sengaja tidak mengerjakannya.
Numun karena
perkataan ini telah sangat banyak didengan, sekarang timbul sebuah pertanyaan
besar dalam benak kita, benarkan setiap hal yang tidak dikerjakan oleh
Rasulullah SAW adalah bid'ah yang sesat dan haram?
Dalam tulisan
singkat ini, kita akan mencoba mengupasnya dengan dalil-dalil dari hadis dan
amalan para salafus shaleh. Semoga tulisan ini diberkahi dan di redhoi
Allah SWT. Amin…
At-Tarku La Yufidhu At-Tahrim ( Yang ditinggalkan Nabi SAW
tidak menunjukkan keharaman )
Mayoritas
ulama membagi bid'ah ( hal baru ) kepada lima macam, sebagai mana yang disebutkan
oleh Sultan Al-Ulama, Izzuddin
Bin Abdus Salam dalam kitabnya Qowaid Al-Ahkam. Syeikh Izzuddin
mengatakan, sesuatu yang baru yang tidak ada pada zaman Nabi SAW meliputi hukum
yang lima, rincian hukum tersebut dapat diperoleh dengan cara menimbangnya dengan Qowaid Syariah yang telah ada.
Sesuatu yang
baru yang belum terjadi pada zaman Nabi SAW tersebut bisa menjadi wajib,
seperti pengumpulan Al-quran dalam satu mushaf. Bisa menjadi sunnah
seperti pendirian madrasah, bisa menjadi mubah seperti bersalam salaman
setelah sholat berjamaah, bisa jadi makruh seperti menghiasi mesjid
dengan berlebihan dan bisa jadi haram seperti munculnya mazhab qodoriah,
mujassimah dan jabariyah.
Namun
sebagian orang, sebagaimana yang disebut oleh Dr. Al-Arfaj dalam kitabnya Mafhum Al-Bidah sebagai Almudoyyiquun Lima'na Bid'ah yaitu orang-orang
yang mempersempit makna bid'ah. Mereka berpendapat bahwa setiap yang tidak
dilakukan oleh Rasulullah SAW dan sahabatnya adalah bid'ah yang sesat. Dengan
dalih, kalau lah saja hal tersebut baik tentunya mereka telah mengerjakannya
terlebih dahulu.
Mereka dengan
cepat bisa menyimpulkan, jika tidak dikerjakan Rasulullah SAW dan salafus
saleh maka hal itu terlarang atau haram. Kemudian muncullah sebuah kaedah At-tarku
Yaqtadi At-tahrim yang berarti, sesuatu yang tidak dilakukan-oleh Nabi SAW-
menunjukkan keharaman ). Namun apakah
benar setiap yang tidak dilakukan Rasulullah SAW dan salafussaleh adalah
haram?
Para ulama
mencoba mengkaji kitab-kitab Ushul Fiqh yang merupakan sebuah disiplin ilmu
yang mesti dan wajib dimiliki oleh seorang mujtahid. Sebab ilmu ini pokok atau
podasi bagi setiap mujtahid dalam menimbang sebuah persolan yang ada. Namun
tidak satupun dari ulama Ushul Fiqih dalam kitab-kitab mereka yang mengatakan
bahawa At-tarku Yaqtadi At-tahrim ( sesuatu yang tidak dilakukan menunjukkan
keharaman ).
Justru yang
ada ditemukan adalah kaedah An-Nahyu Yufidu At-Tahrim (sebuah larangan
menunjukkan keharaman). Namun ulama Usul Fiqh sendiri juga berbeda pendapat
dalam hal ini, apakah asal dari sebuah larangan ( An-Nahyu) menunjukkan
keharaman atau makruh saja. Pendapat ketiga juga ada yang berpendapat tawaquf
sampai ada qarinah atau dalil yang menunjukkannya kepada keharaman atau makruhannya.
Berbicara
tentang Al-Matruk ( sesuatu yang ditinggalkan-oleh Nabi-) ulama
membaginya kepada dua macam:
1.
Sesuatu yang ditinggalkan -oleh
Nabi- tanpa ada maksud ( Ma taroka min ghairi qasdin)
2.
Sesuatu yang ditinggalkan -oleh
Nabi- karena ada maksud
–meninggalkannya- ( Ma taroka biqosdin)
Adapun yang
pertama, jelas tidak ada kandungan hukumnya. Ia tidak menunjukan kepada keharamannya
dan tidak kemakruhannya, akan tetapi hal tersebut bukanlah sesuatu yang
dijadikan sebagai petunjuk dan dalil.
Sebagaimana fatwa
Syeikh Ibnu Taimiyah dalam Majmu' Fatawanya : Tidak boleh
seseorang mengatakan makruh hukumnya masuk kedalam hamamat ( tempat pemandian) atau tidak
disunnahkan memasukinya hanya karena Rasulullah SAW tidak pernah memasukinya,
tidak juga Abu Bakar, tidak juga Umar. Akan tetapi hal tersebut akan menjadi sebuah
hujjah jika Rasulullah SAW dan sahabat
melarang memasukinya atau bermaksud menjauhinya atau mereka mungkin saja untuk memasukinya
akan tetapi sengaja tidak memasukinya. Sebagaimana diketahui, bahwasannya hamam
tidak ada ditemui di Hijaz waktu itu. Maka tidak sah jika kita menghukuminya makruh
atau tidak disunnahkan masuk ke hamamat (tempat pemandian) hanya disebabkan
karena tidak masuknya Nabi SAW ke tempat tersebut.
Sebagaimana
juga setiap yang diciptakan Allah SWT di dunia ini dari makanan, pakaian,
kendaraan dan tempat tinggal, tidak semuanya ada di Hijaz tempat Nabi SAW
tinggal. Nabi tidak memakan setiap jenis makanan, tidak memakai semua jenis
pakaian. Akan tetapi kaum muslimin yang hidup di Mesir, Syam, Iraq, Yaman,
Khurasan, Azerbaijan, Mahgrib dan tempat yang lain, memiliki makanan dan pakaian
yang khas dan biasa mereka pakai.
Walau
demikian, mereka tidak memahami bahkan tidak ada terlintas dalam benak mereka
untuk meninggalkan semua itu demi mengikuti sunnah Rasulullah SAW hanya karena beliau
tidak pernah memakan makanan mereka dan tidak memakai pakain seperti yang
mereka pakai.
Kemudian
adapun yang kedua, yaitu adanya maksud Nabi SAW untuk meninggalkannya,
sebaimana juga disebut sebagai As-Sunnah
At-Tarkiyah. Hal ini tampak dari perbuatan beliau SAW. Misalnya dengan
menahan diri, menjauhi dan menghindar dari hal tersebut. Namun tidak serta
merta lansung menghukuminya menjadi haram, akan tetapi perlu dikaji dan
diteliti dari qorinah-qorinah yang ada dengan Qowaid Ahkam yang
telah ditetapkan para ulama. Apakah hal tersebut haram, makruh dan mubah. Disinilah
objek kajian para ulama Usul Fiqih dan Ahli Fiqih. Bersambung ke bagian dua. klik disini
0 komentar:
Posting Komentar