Minggu, 06 Maret 2016

Nabi SAW Tidak Mengerjakannya, Lantas Haramkah? (1) Bagian Satu



Ketika mencoba membuka pembicaraan tentang sebuah persoalan yang sering dibahas akhir-akhir ini, rasanya tidak akan pernah habis dan tidak akan pernah tuntas selama kita tidak pernah mencoba membuka hati dan pikiran terhadap hujjah dan pendapat orang lain. Ketika kita masih mengedepankan egoisme dan menutup pikiran, maka kebenaran yang datang dari orang lain akan sulit masuk dan hampir saja akan mustahil kita terima.

Telah banyak kita mendengar dan membaca penjelasan para ulama tentang persoalan-persoalan yang  sebenarnya tidak semestinya dipermasalahkan dan diributkan lagi, sebab agama islam sendiri telah memberikan peluang dan kesempatan kepada para mujtahid dan ulama untuk berijtihad dari dasar hukum itu sendiri sesuai dengan ketentuan-ketentuan yang telah ditetapkan. Allah SWT dan Rasulnya SAW tidak menjelaskan dengan rinci setiap permasalahan yang ada dan zaman selalu berkembang dan memunculkan hal-hal yang baru, maka disinilah peran para mujtahid dan para ulama dalam menjawab persolan yang berkembang. Mereka menimbang setiap hal dengan timbangan yang akurat yaitu Al-quran dan Sunnah.

Namun walaupun demikian, sebagian orang dan kelompok terkesan memaksakan pendapat mereka kepada orang lain, sehingga tak kala mereka mendapati adanya perbedaan pendapat walaupun perbedaan itu terjadi sendiri dikalangan salaf, dengan mudah mereka mencap sebagai ahli bid'ah. Secara tidak lansung juga mereka telah mengatakan banyak diantara ulama salaf adalah pelaku bid'ah. Waiiyazubillah.

Inilah pembahasan masalah bid'ah yang hingga dasawarsa ini tak pernah menemukan titik temu dan memang tidak akan ada titik temu selama kita masih mengedepankan rasa tassub, bukan mengedepankan hujjah dan kebenaran.

Salah satu titik yang sangat mencolok yang menjadi hujjah bagi mereka adalah menjadikan timbangan setiap hal dengan apa yang tidak dilakukan Rasulullah SAW. Bukankah seharusnya yang sebaliknya dengan menjadikan timbangan sebuah amalan dengan yang apa yang amalkan oleh Rasulullah SAW, baik yang beliau kerjakan atau yang beliau sengaja tidak mengerjakannya.

Numun karena perkataan ini telah sangat banyak didengan, sekarang timbul sebuah pertanyaan besar dalam benak kita, benarkan setiap hal yang tidak dikerjakan oleh Rasulullah SAW adalah bid'ah yang sesat dan haram?

Dalam tulisan singkat ini, kita akan mencoba mengupasnya dengan dalil-dalil dari hadis dan amalan para salafus shaleh. Semoga tulisan ini diberkahi dan di redhoi Allah SWT. Amin…

At-Tarku La Yufidhu At-Tahrim ( Yang ditinggalkan Nabi SAW tidak menunjukkan keharaman )

Mayoritas ulama membagi bid'ah ( hal baru ) kepada lima macam, sebagai mana yang disebutkan oleh Sultan  Al-Ulama, Izzuddin Bin Abdus Salam dalam kitabnya Qowaid Al-Ahkam. Syeikh Izzuddin mengatakan, sesuatu yang baru yang tidak ada pada zaman Nabi SAW meliputi hukum yang lima, rincian hukum tersebut dapat diperoleh dengan cara menimbangnya  dengan Qowaid Syariah yang telah ada.

Sesuatu yang baru yang belum terjadi pada zaman Nabi SAW tersebut bisa menjadi wajib, seperti pengumpulan Al-quran dalam satu mushaf. Bisa menjadi sunnah seperti pendirian madrasah, bisa menjadi mubah seperti bersalam salaman setelah sholat berjamaah, bisa jadi makruh seperti menghiasi mesjid dengan berlebihan dan bisa jadi haram seperti munculnya mazhab qodoriah, mujassimah dan jabariyah.

Namun sebagian orang, sebagaimana yang disebut oleh Dr. Al-Arfaj dalam kitabnya  Mafhum Al-Bidah sebagai  Almudoyyiquun Lima'na Bid'ah yaitu orang-orang yang mempersempit makna bid'ah. Mereka berpendapat bahwa setiap yang tidak dilakukan oleh Rasulullah SAW dan sahabatnya adalah bid'ah yang sesat. Dengan dalih, kalau lah saja hal tersebut baik tentunya mereka telah mengerjakannya terlebih dahulu.

Mereka dengan cepat bisa menyimpulkan, jika tidak dikerjakan Rasulullah SAW dan salafus saleh maka hal itu terlarang atau haram. Kemudian muncullah sebuah kaedah At-tarku Yaqtadi At-tahrim yang berarti, sesuatu yang tidak dilakukan-oleh Nabi SAW- menunjukkan keharaman ).  Namun apakah benar setiap yang tidak dilakukan Rasulullah SAW dan salafussaleh adalah haram?

Para ulama mencoba mengkaji kitab-kitab Ushul Fiqh yang merupakan sebuah disiplin ilmu yang mesti dan wajib dimiliki oleh seorang mujtahid. Sebab ilmu ini pokok atau podasi bagi setiap mujtahid dalam menimbang sebuah persolan yang ada. Namun tidak satupun dari ulama Ushul Fiqih dalam kitab-kitab mereka yang mengatakan bahawa At-tarku Yaqtadi At-tahrim ( sesuatu yang tidak dilakukan menunjukkan keharaman ).

Justru yang ada ditemukan adalah kaedah An-Nahyu Yufidu At-Tahrim (sebuah larangan menunjukkan keharaman). Namun ulama Usul Fiqh sendiri juga berbeda pendapat dalam hal ini, apakah asal dari sebuah larangan ( An-Nahyu) menunjukkan keharaman atau makruh saja. Pendapat ketiga juga ada yang berpendapat tawaquf sampai ada qarinah atau dalil yang menunjukkannya kepada  keharaman atau makruhannya.

Berbicara tentang Al-Matruk ( sesuatu yang ditinggalkan-oleh Nabi-) ulama membaginya kepada dua macam:
1.      Sesuatu yang ditinggalkan -oleh Nabi- tanpa ada maksud ( Ma taroka min ghairi qasdin)
2.      Sesuatu yang ditinggalkan -oleh Nabi-  karena ada maksud –meninggalkannya- ( Ma taroka biqosdin)

Adapun yang pertama, jelas tidak ada kandungan hukumnya. Ia tidak menunjukan kepada keharamannya dan tidak kemakruhannya, akan tetapi hal tersebut bukanlah sesuatu yang dijadikan sebagai petunjuk dan dalil.

Sebagaimana fatwa Syeikh Ibnu Taimiyah dalam Majmu' Fatawanya : Tidak boleh seseorang mengatakan makruh hukumnya masuk kedalam  hamamat ( tempat pemandian) atau tidak disunnahkan memasukinya hanya karena Rasulullah SAW tidak pernah memasukinya, tidak juga Abu Bakar, tidak juga Umar. Akan tetapi hal tersebut akan menjadi sebuah hujjah jika Rasulullah  SAW dan sahabat melarang memasukinya atau bermaksud menjauhinya atau mereka mungkin saja untuk memasukinya akan tetapi sengaja tidak memasukinya. Sebagaimana diketahui, bahwasannya hamam tidak ada ditemui di Hijaz waktu itu. Maka tidak sah jika kita menghukuminya makruh atau tidak disunnahkan masuk ke hamamat (tempat pemandian) hanya disebabkan karena tidak masuknya Nabi SAW ke tempat tersebut.

Sebagaimana juga setiap yang diciptakan Allah SWT di dunia ini dari makanan, pakaian, kendaraan dan tempat tinggal, tidak semuanya ada di Hijaz tempat Nabi SAW tinggal. Nabi tidak memakan setiap jenis makanan, tidak memakai semua jenis pakaian. Akan tetapi kaum muslimin yang hidup di Mesir, Syam, Iraq, Yaman, Khurasan, Azerbaijan, Mahgrib dan tempat yang lain, memiliki makanan dan pakaian yang khas dan biasa mereka pakai.

Walau demikian, mereka tidak memahami bahkan tidak ada terlintas dalam benak mereka untuk meninggalkan semua itu demi mengikuti sunnah Rasulullah SAW hanya karena beliau tidak pernah memakan makanan mereka dan tidak memakai pakain seperti yang mereka pakai.


Kemudian adapun yang kedua, yaitu adanya maksud Nabi SAW untuk meninggalkannya, sebaimana juga disebut sebagai  As-Sunnah At-Tarkiyah. Hal ini tampak dari perbuatan beliau SAW. Misalnya dengan menahan diri, menjauhi dan menghindar dari hal tersebut. Namun tidak serta merta lansung menghukuminya menjadi haram, akan tetapi perlu dikaji dan diteliti dari qorinah-qorinah yang ada dengan Qowaid Ahkam yang telah ditetapkan para ulama. Apakah hal tersebut haram, makruh dan mubah. Disinilah objek kajian para ulama Usul Fiqih dan Ahli Fiqih. Bersambung ke bagian dua. klik disini

0 komentar:

Posting Komentar