Rabu, 01 April 2015

Ternyata Memakai Cadar Hukumnya Tidak Wajib

Pada sebuah video youtube yang menghadirkan Dr. Zakir Naik dan Dr.Salah, seorang perempuan mengajukan sebuah pertanyaan berkenaan dengan hukum memakai cadar. Wanita ini mengatakan bahwasaanya pada satu kesempatan Dr.Salah mengatakan memakai cadar hukumnya wajib, namun dalam satu kesempatan yang lain ia juga mendengar bahwasaanya Dr. Zakir Naik mengatakan hukum cadar tidaklah wajib karena tidak ada satupun hadis yang shohih mengataknnya. Wanita ini kemudian meminta penjelasan terhadap apa yang ia dengar atas perbedaan pendapat dua ulama ini.

Dialog ini kemudian dimulai dengan memberikan kesempatan pertama kepada Dr.Salah untuk berbicara. Beliau menjelaskan memang benar kalau ada perbedaan pendapat ulama dalam hal ini. Namun, walaupun ada perbedaan dikalangan ulama, perbedaan ini menunjukkan bahwasannya kebanyakan ulama lebih menganjurkan memakai cadar. Kemudian setelah kembali menelaah dalil-dalil yang ada, sebagian ulama bahkan mewajibkannya, ini lah yang kuat menurut Dr. Salah.

Beliau berdalil, ketika seorang wanita menunaikan Haji, maka haram baginya menutupi wajah pada saat ihram. Nah ini membuktikan kalau dalam keadaan biasa ( tidak berihram), seorang wanita muslim menutup mukanya.

Kemudian Dr.Salah menambahkan bahwasannya, ulama  sangatlah menganjurkan memakai cadar pada saat jika wanita ini tidak memakai cadar, maka akan terjadi fitnah antaranya dan lawan jenis.  Maka mari kita lihat di zaman ini, tidak ada fitnah yang terbesar melainkan fitnah wanita. 90% pusat kecantikan wanita terletak pada wajah.

Dr.Zakir Naik sependapat dengan Dr. Salah kalau mayoritas ulama tidak mewajibkan cadar namun hanya menganjurkannya. Beliau lebih cenderung mengikuti pendapat Syeikh Al Bani yang mengatakan cadar tidaklah wajib. Ada 20 alasan yang beliau kemukakan kalau memakai cadar itu hukumnya tidaklah wajib.

Dr. Zakir Naik sedikit mengkritik hujjah yang dibawakan Dr.Salah yang mengatakan bahwasannya, ketika ihram seorang perempuan dilarang menutup wajahnya, maka hal itu mengindikasikan dalam keadaan biasa ( tidak ihram) seorang wanita diwajib menutup wajah, ini kuranglah tepat. Sebab, banyak hal yang dilarang ketika ihram tidak serta-merta wajib dalam keadaan biasa. Misalnya memotong kuku, ketika seorang sedang menunaikan haji dan umrah diharamkan bagi mereka memotong kuku. Nah apakah memotong kuku dalam keadaan tidak ihram wajib? Tidak, hukum asal memotong kuku hanyalah mubah.

Sangat banyak hal-hal yang disunnahkan awalnya dan bahkan hanya mubah saja, akan tetapi menjadi haram dikerjakan saat sesorang meunaikan ihram. Namun tidak ada satu perbuatan pun yang awalnya wajib menjadi terlarang saat ihram. Jadi menutup wajah pun ketika dilarang saat ihram, hukumnya pada saat di luar ihram tidaklah menjadi wajib.

Dr.Zakir juga mengatakan kalau tidak ada satupun dalil dari ayat dan hadis yang shohih yang mengatakan memakai cadar itu wajib.

Kemudian tentang pusat kecantikan seorang wanita. Beliau tidak sepakat kalau pusat kecantikan seorang wanita terletak pada wajah. Namun demikian, justru hal yang paling menarik dari wajah adalah mata ( namun ketika memakai cadar, hanya matalah yang terlihat_pent).

Berdasarkan sebuah penelitian, ketika laki-laki memperhatikan seorang wanita, 60% dari mereka melihat payudara bukan wajah. Oleh karena itu dalam Al-quran disebutkan agar para wanita menjulurkan jilbabnya kearah dada.

Sebagaimana juga dalam sebuah hadis disebutkan bahwasaanya jika seorang wanita telah mencapai akil baligh maka tidak boleh memperlihatkan tubuhnya kecuali wajah dan telapak tangan.

 Kesimpulan:
1.       Hukum memakai cadar tidaklah wajib, namun yang diperintahkan adalah menjulurkan jilbab hingga ke dada.
2.       Kalau dengan memakai cadar akan menimbulkan fitnah yang baru maka, meninggalkannya lebih utama, berdasarkan kaedah fiqih mengatakan " sebuah kemudharatan harus dihapus".
3.      Memakai cadar sangatlah dianjurkan dalam keadaan:
1.       Seorang wanita yang memiliki wajah yang sangat cantik, benar-benar sangat cantik.
2.       Akan menimbulkan fitnah kalau tidak memakai cadar. Misalnya disebuah tempat, dimana semua wanitanya memakai cadar.

Wallahua'lam...


Bantahan Terhadap Syubhat Orang-Orang yang Mengingkari Mazhab (2)


Pada pembahasan terdahulu kita telah menguraikan empat syubhat orang-orang yang mengingkari mazhab beserta bantahannya, lanjutan dari itu pada pembahasan kali ini kita tambahkan syubhat-syubhat lainnya yang menjadi pegangan mereka beserta bantahannya.

Syubhat Kelima:

Mereka berhujjah dengan perkataan Izzudin Abdussalam, Ibnul Qoyim dan Kamal bin Al Hamam yang mendakwakan, bahwa mereka mengharamkan bermazhab dengan mazhab tertentu. Kemudian mewajibankan semua manusia mengambil secara lansung hukum-hukum kepada al-Quran dan sunah tanpa membedakan dia mujtahid atau orang awam.

Bantahan:

Jelas ini adalah tuduhan yang tidak benar. Bagaimana mungkin ulama-ulama di atas mengharamkan bermazhab sedangkan mereka merupakan ulama-ulama yang bermazhab dengan mazhab tertentu. Izzudin Abuss Salam merupakan ulama bermazhab Syafi'i, Ibnul Qoyyim merupakan ulama bermazhab Hambaly dan Kamal bin Al Hammam merupakan ulama bermazhab Hanafy.
Semua ini adalah pendustaan dan pentahrifan terhadap perkataan ulama. Semua tuduhan ini bertolak belakang dengan sebenarnya.

Dalam kitab "Qowaid Al Ahkam", Imam Izzudin bin Abdissalam mengatakan bahwa, umat muslim dari zaman sahabat sampai munculnya mazhab yang empat mereka bertaqlid kepada apa yang telah disampaikan ulama mujtahid tanpa ada pegingkaran sedikitpun. Jika saja taqlid adalah sesuatu yang batil tentu mereka akan mengingkarinya. Akan tetapi mereka bertaqlid kepada yang lebih mulia dari mereka dari kalangan sahabat dan tabiin dan tak ada satupun nash yang menjelaskan pengingkaran mereka.

Imam Ibnul Qoyyim dalam kitab " I'lamul Muwaqqii'n" pada faedah yang ke dua puluh menyebutkan: "Tidak boleh bagi seorang muqollid untuk berfatwa dalam agama allah terhadap apa yang ia bertaqlid kapadanya".

Kemudian dalam faedah yang ke dua puluh satu menyebutkan:" Jika seorang membaca al-Quran dan sunnah dan kitab-kitab fiqih atau kitab lainnya, kemudian memiliki kekurangan dalam memahami  al-Quran, sunah, asar salaf, istinbat hukum dan dalam hal tarjih hukum, apakah boleh ia taqlid kepada fatwa ulama? Imam Ibnul Qoyyim menjawab:"  Dalam hal ini ada empat bentuk,,, dan yang paling benar adalah secara tafsil. Jika saja dia bisa menemukan seorang alim, maka tidak halal baginya untuk berfatwa dan beramal dengan fatwanya sendiri. Jika saja tidak ada orang alim maka meninggalkan permasalahan itu ini lebih baik baginya dari pada ia beramal tanpa ilmu.

Tidakkah kita melihat dari penjelasan dari Ibnul Qoyyim di atas. Jelas tanpa di ragukan lagi, bahwasannya orang yang jahil tidak ada jalan lain bagi mereka kecuali taqlid kepada orang yang alim.

Jadi tidak ada sumber yang mengtakan bahwa ulama-ulama di atas mengharamkan bermazhab dengan mazhab tertentu. Kalau memang mereka tatap bersikukuh, hatuu burhanakum in kuntum shodiqiin,- berikan kami dalil atas dasar perkataan kalian jika kalian memang benar.

Syubhat Keenam:

Mereka mengatakan bahwa munculnya mazhab-mazhab fiqih adalah adanya kepentingan politik. Kemudian  mendakwakan bahwa Ibnul Qoldun dalam kitab "Al-Muqoddimah" mengatakan hal itu.

Bantahan:

Ini merupakan sebuah fitnah dan tahrif dalam penisbatan suatu perkataan kepada ulama. Setelah merujuk kepada sumber asli dari kitab "Muqoddimah" Ibnu Khaldun, tidak satupun didapatkan apa yang dituduhkan oleh mereka kepada Ibul Khaldun, namun yang ada adalah sebaliknya.

Dalam muqoddimahnya, Ibnul Khaldun mengatakan bahwasaanya suatu kewajibann bagi yang tidak mampu berijtihad untuk taqlid kepada orang yang mengetahui. Hal ini telah terjadi dan di sepakati dari zaman sahabat, dikarenakan tidak semua sahabat yang mampu berijtihad. Begitu juga dengan para tabiin dengan munculnya dua mazhab yaitu Mazhab Arro'yi dan Mazhab Al hadis.

Dapat disimpulkan semua tuduhan itu adalah tuduhan yang tak berdasar dan merupakan sebuah fitnah yang di tujukan kepada ulama. Hatuu burhanakum in kuntum shodiqin.

Syubhat Ketujuh:

Mereka mempertanyakan jika memang harus mengikuti mazhab fulan dan fulan," Bagaimana keadaan manusia sebelum adanya fulan dan fulan yang kalian beraqlid kepadanya? Apakan manusia yang hidup sebelum mereka hidup dalam kesesatan?". Namun mereka mengatakan" wajib kita yakini kalau mereka berada pada jalan yang benar. Bagaimana mungkin mereka yang mengikuti al-Quran dan sunnah berada dalam kesesatan sedangkan kalian hanya berhukum dengan perkataan fulan-dan fulan tanpa dalil?".

Bantahan:

Sungguh ajib yang mereka katakan dan merupakan sebuah perkataan yang berbahaya dan sangat berani. Mereka tetap memaksakan bahwa semua sahabat memiliki kapasitas berijtihad terhadapa nash al-Quran dan sunnah dan jelas-jelas ini telah menyelisihi ijma'ulama.

Untuk mejawab tuduhan itu semua, sebagaimana disebutkan dalam kitab "Al-muqoddimah" Ibnul Khaldun megatakan bahwasannya tidak semua sahabat memiliki kemampuan untuk berijtihad dan agama tidak diambil dari semua sahabat. Tidakkah kita mendengar  adanya khabar bahwasannya dari sahabat yang berzina kemudian bertaubat, dan mencuri lalu bertaubat. Akan tetapi mujtahid dari sahabat hanya di khususkan kepada mereka yang paham dengan al-Quran, mengerti dengan nasikh dan mansukh, mutasyabihat dan muhkamnya dan semua ilmu digunakan untuk memahami kalam yang mulia ini.

Jadi, yang memahami istinbat hukum dan fatwa dari kalangan sahabat hanyalah dalam jumlah terbatas. Adapun yang lain diantara sahabat tidak memiliki kemampuan untuk beijtihad. Tidak diragukan lagi bahwasannya jumlah yang sedikit inilah dari karangan sahabat  yang kemudian menjelaskan hukum-hukum islam kepada jumalah yang banyak ini. Bukankan ini dinamakan taqlid?.
Jelas sudah, bahwasannnya sahabat yang tidak mampu berijtihad mereka bertaqlid kepada mereka yang mampu beijtihad dalam urusan agama ini. Sebagaimana sebahagian sahabat taqlid kepada pendapat-pendapatnya Ibnu Abbas, sebahagian yang lain kepada Ibnul Mas'ud, sebagian yang lain kepada Zaid bin Tsabit dan sebagian lain kepada Khulafaur Rasyidin.

Sebagaimana juga telah disebutkan, bahwasaanya semua ulama telah sepakat dengan adanya dua mazhab pada masa tabiin yaitu Mazhab Ahli Ro'yi di Iraq  dan Mazhab Ahli Hadis di Hijaz dan mereka bertaqlid kepada mazhab yang ada di sana waktu itu.

Sesungguhnya imam mazhab yang empat tidaklah memunculkan hal yang baru dalam agama ini. Akan tetapi mereka adalah hasil didikan dari dari dua mazhab yang ada pada zaman tabi'in ini.

Sekarang telah terungkaplah semuanya, bahwasaanya tidak ada lagi alasan bagi orang yang tidak memiliki ilmu dalam berijtihad, untuk ikut taqlid kepada para mujtahid. Atau kita telah merasa mampu berijtihad dan menjadi seorang mujtahid.  Apakah kita merasa diri kita cukup hanya dengan membaca terjemahan al-Quran dan hadis kemudian kita bisa berijtihad sendiri dan menghukumi ini haram dan itu haram?. Semoga Allah SWT menurunkan hidayah dan taufiqnya kepada semua, amin...

(Disarikan dari buku Allaamazhabiyah Akhtoru Bid'ah Tuhadidu As-syariah Al-Islamiyah, karangan Doktor Muhammad Sayid Ramadhan Al-buuthy)

Bantahan Terhadap Syubhat Orang-Orang yang Mengingkari Mazhab (1)


Pada pembahasan sebelumnya kita telah paparkan Kewajiban Untuk Bermazhab danDalil Wajibnya Bermazhab, berikut ini akan kita sebutkan beberapa syubhat orang-orang yang mengingkari mazhab.

Diantara syubhat yang kemudian menjadi dalil keharaman bermazhab bagi mereka yang mengingkari bermazhab adalah sebagai berikut:

Syubhat Pertama: 

Sesungguhnya islam tidaklah lebih dari hukum- hukum tertentu yang sangat mudah dipahami orang arab dan muslim pada umumnya. Sebagaimana  hadis jibril tentang hakikat iman, islam, dan ihsan dan hadis dibangunnya islam dengan lima asas. Semuanya sudah jelas dan bisa dipahami.

Bantahan:

Kalau saja seandainya dakwaan itu benar, bahwasannya islam itu hanya terbatas pada hal-hal yang mudah dipahami dan permasalahan-permasalahan ringan lainnya, tidak mungkin kitab-kitab sahih dan musnad-musnad yang ada sekarang ini dipenuhi oleh ribuan hadis dengan berbagai macam bentuk hukum yang berhubungan denga kehidupan manusia muslim. Jika saja nabi menjelaskan semua hukum-hukum yang ada, niscaya nabi tidak akan memiliki waktu yang cukup untuk menjelaskannya semuanya. Akan tetapi, Rasulullah saw menjelaskan konsep-konsep dasar keislaman kepada para sahabat, kemudian penjabaran dari konsep yang ada Rasulullah saw berikan kepada para sahabat untuk memahaminya dan mejabarkannya.

Maka untuk menjelaskan semua yang telah di sampaikan, rasulullah mengutus para sahabat hasil didikan beliau lansung keberbagai belahan daerah islam saat itu. Rasulullah saw mengirim Khalid bin Walid ke Najran, Ali bin Abi thalib, Abu Musa AL As'ari dan Muaz bin Jabal ke Yaman dan Usman Bin Affan ke Tsaqif. Mereka diutus untuk menjelaskan hukum-hukum syariat melalui pembelajaran dan penjelasan sebagaimana Rasulullah saw memahaminya.

Kecilnya kekuasaan islam saat itu membuat tidak banyaknya penjelasan hukum yang dibutuhkan. Namun tak kala islam semakin meluas, dengan keadaan dan kindisi yang berbeda antara suatu tempat dan tempat yang lain, menuntut penjabaran hukum yang lebih luas dari asalnya. Ketika munculnya adat-istiadat suatu tempat, maslahah terhadap kondisi tertentu dan bentuk-bentuk taqlid yang berkemabang di tempat itu dan ini semua membutuhkan penjelasan dan hukum. Semua permasalahan ini tidak akan terlepas adri dasar  islam yaitu al-Quran, sunah, ijma' dan kiyas. Allah SWT tidak akan menghukumi sesuatu kecuali atas dasar hukum-hukum di atas sesuai dengan syarat dan tartib serta metode istinbat hukum dari sumber-sumber ini.  

Syubhat Kedua: 

Mazhab-mazhab itu tidak lain hanyalah sekedar pendapat-pendapat dan pemahaman saja dan beramal dengan pendapat-pendapat ini tidak pernah diwajibkan oleh Allah dan Rasulnya untuk mengikutinya. Namun kita hanya diperintahkan mengikuti al-quran dan sunah.

Bantahan:

Bagaimana mungkin kita memisahkan antara islam dan hasil istinbat hukum para imam yang empat yang pada dasarnya mereka menggunakan dasar-dasar hukum islam sebagai landasannya. Ini tidak lain adalah sebuah kesimpulan yang sangat bodoh dan batil sebagaimana orang-orang orientalis memahaminya.

Seorang orientalis Jerman mengatakan bahwa, fiqih islami yang disusun oleh para imam mazhab tidak lain hanyalah berupa aturan-aturan khusus hasil pemikiran mereka saja yang terlepas dari unsure-unsur al-Quran dan sunah.

Jika saja apa yang didakwakan oleh mereka yang mengingkari mazhab dan orientalis ini benar, maka tidaklah ada kewajiban bagi kita untuk menaati aturan-aturan kehidupan manusia yang ada. Sebab semuanya hanyalah hasil ijtihad dan pendapat-pendapat mazhab saja yang tidak pernah diwajibkan oleh Alla SWT dan Rasulnya saw. Begitu juga tidak ada kewajiban bagi kita menaati aturan-aturan Negara islam yang telah dirumuskan pada ulama, karena kebanyakan aturan itu adalah hasil ijtihad dan pendapat-pendapat saja yang tidak pernah diwajibkan Allah SWT dan Rasulnya.  Lalu bagaimana mungkin kita mengatakan bahwasannya islam adalah agama dan Negara?. Mengapa mereka tidak membetulkan pemahaman kita selama, bahwasannya islam ini hanyalah agama sebagai mana yang diinginkan para orientalis terhadap islam?.

Sesungguhnya Rasulullah saw telah mengirim para sahabat ke berbagai belahan dunia islam. Mereka dibebani menyampaikan risalah keislaman, mengajarkan penduduknya dan menjelaskan hukum halal dan haram kepada mereka. Telah sepakat ulama bahwasannya para sahabat berijtihad terhadap sebuah permasalahan jika tidak ditemukan dalil sorih dalam al-Quran dan sunah dan nabi mengizinkannya. Sebagaimana hadis ketika Rasulullah saw bertanya kepada Muaz bin Jabal sebelum ia diutus ke Yaman prihal bagai mana ia mengambil sebuah hukum. Pertama ia mencari dari al quran dan sunnah dan jika tidak ketemu maka ia beijtihad dan nabi membenarkannya.

Terus bagaimana mungkin mereka yang mengingkarai mazhab mengatakan kalau ijtihad-ijtihad itu hanyalah sekedar pemahaman manusia belaka yang Allah SWT dan Rasulnya tidak pernah mewajibkannya?.

Sesungguhnya hukum-hukum islam itu bukanlah sesuatu yang mudah dan hanya mengurus urusan tertentu saja. Akan tetapi islam datang mengatur semua cakupan urusan kehidupan  manusia.  Semua urusan itu tidak akan terlepas dari al-Quran dan sunah dengan dalil yang zohir atau melalui ijtihad dan istinbat ulama melalui dua sumber dasar ini. Pemahaman seorang mujtahid terhadap sebuah hukum merupakan hukum yang Allah SWT wajibkan kepada seorang mukallaf. Kalau seandainya saja benar apa yang mereka katakan bahwa Allah SWT dan Rasulnya saw tidak pernah mewajibkan mengikuti ijtihad para mujtahid, maka sia-sialah pengutusan nabi terhadap para sahabat ke berbagai qabilah dan daerah-daerah kekuasaan islam saai itu.

Syubhat Ketiga:

Dasar berpegang dalam islam adalah berpegang kepada al-Quran dan sunnah dan dua dasar ini merupakan dasar yang ma'sum dari kesalahan .Adapun  imam-imam mazhab tidaklah ma'sum dari kesalahan. Dengan begitu, mengikuti para imam mazhab berarti meninggalkan suatu yang maksum dari kesalahan dan berpaling kepada yang tidak maksum dari kesalahan.  Bagaimana mungkin kita meninggalkan yang ma'sum demi mengikuti sesuatu yang tidak ma'sum?.

Bantahan:

Sungguh luar biasa sekali pembicaraan mereka ini. Tidakkah mereka mengetahui dan menyadari siapakah yang menjadi objek tuduhan mereka ini. Ataukah mereka merasa mempunyai kemampuan untuk memahami isi al-Quran dan sunah secara lansung tanpa perantara seorang mufti atau seorang imam?. Dalil yang mereka bawakan benar jika ditujukan kepada seorang yang mampu mamahami isi al-Quran dan sunah secara lansung, yaitu seorang mujtahid. Akan tetapi itu di luar pembahasan. Akan tetapi pembahasan saat ini adalah orang awam yang tidak bisa dan tidak memenuhi syarat sebagai seorang mujtahid.

Sesungguhnya wasilah untuk memahami kitab dan sunnah adalah pemahaman. Dan usaha memahami keduanya tidak mungkin akan terlepas dari kesalahan kecuali pemahaman Allah SWT dan Rasulnya dalam kalamnya. Kemudian bagaimana mereka bisa menyamakan pemahaman seorang yang awam dengan pemahaman seorang mujtahid?. Apa maksud mereka dengan mengajak orang awam meninggalkan pendapat imam-imam mujtahid dan kembali kepada pemahaman mereka sendiri?. Bukankan dari dulu manusia telah terbagi kepada orang awam dan mujtahid?. Ataukah mereka memahami bahwasannya pemahaman orang awam terhadap al-Quran dan sunah bebas dari kesalahan sedangkan pemahaman para imam mujtahid pasti ada kesalahan?. 

Seolah-olah mereka mengatakan bahwa para imam mazhab ini membuat dasar hukum berpijak yang baru selain dari al-Quran dan sunnah, guna menyaingi dan berusaha menjauhkan umat islam mazhabnya Rasululllah. Lahaulawala quwwata illa billah. Sungguh ini merupakan sebuah pemahaman yang sangat lemah dan seolah-olah pemahaman mereka lebih awam dari orang awam sekalipun. Apakan ini yang mereka namakan pemahaman yang ma'sum dari kesalahan?

Syubhat Keempat:

Tidak ada satupun dalil dalam al-Quran dan sunah yang mengatakan bahwa manusia akan ditanya di dalam kuburnya tentang mazhab  yang ia ikuti. Jadi mengapa harus bermazhab, toh nanti juga tidak ditanya malaikat di kubur. Namun munculnay mazhab-mazhab fiqih ini ingin menyaingi mazhabnya Rasulullah saw.

Bantahan:

Dipahami dari pernyataan di atas bahwasannya yang menjadi standar wajibnya suatu kewajiabn kepada Allah SWT adalah pertanyaan dua malaikat di dalam kubur. Setiap yang ditanya malaikat di dalam kubur merupakan suatu kewajiban dan yang tidak ditanya di kubur merupakan sesuatu yang tidak wajib dan tidak pernah disyariatkan.

Tidak pernah kita ketahui dari sumber-sumber aqidah islam dan tidak satupun ulama mengatakan kalau nantinya malaikat di kubur akan menanyakan tentang hutang,  jual beli yang tidak sah, perzinahan, pencurian, kelalaian mendidik anak dalam keluarga, waktu yang digunakan selama di dunia ini.

Jika saja ada sebuah dalil yang mengatakan bahwa malaikat di kubur akan menanyakan hal-hal di atas dan hal yang serupa dengan yang telah disebutkan, mari kita lihat apakah malaikat juga akan menayakan, kenapa kamu taqlid kepada syafi'i, kenapa tidak berijtihad saja sendiri, kenapa kamu hanya mengikuti satu imam saja, kenapa tidak berubah-ubah dalam mengikuti pendapat imam-imam mazhab.

Jika saja malaikat akan menanyakan ini, sungguh dakwaan mereka benar dan semua ulama dan  baahisin telah salah karena hanya menganggap bahwasaannya malaikat nanti di dalam kubur hanya akan bertanya tetang dasar-dasar islam secara umum yang di wakili dengan pertanyaan tertentu sebagaimana disebutkan dalam hadis sahih. Jika benar, tentunya malaikat harus mempersiapakan ratusan bahkan ribaun pertanyaan untuk nantinya akan ditanyakan kepada manusia di dalam kubur tentang semua segi kehidupan manusia.

Akan tetapi semua itu tidak akan pernah terjadi. Sebagaimana semua ulama dan muslimin mengatakan bahwasannya kewajiban manusia di dunia ini lebih luas dari pada hanya sekedar pertanyaan malaikat di dalam kubur yang diwakili dengan beberapa pertanyaan dasar dalam asas islam.

Namun kembali kita memahami, maksud dakwaan di atas tidak lain adalah ingin mengatkan bahwa keberadaan mazhab-mazhab fiqih ini bermaksud ingin menjadi saingan mazhabnya Rasulullah saw. Sebenarnya mereka ingin mengatakan kalau malaikat di kubur nantinya hanya akan bertanya kepada simait tentang mauqif mereka terhadap Nabi Muahmmad saw. Namun untuk kepentingan hujah mereka mereka mencoba menipu pemahaman manusia awam dengan pernyataan yang sanat ajib bahwasannya tidak akan pernah ditanayakannya mazhab yang kita ikuti selama di sunia, maka buat apa kita bermazhab toh juga tidak akan di tanya. Akhirnya ini bukan menjadi hujah bagi mereka, akan tetapi pernyataan mereka sendiri menjadi hujah atas mereka sendiri.
Apa bedanya mazhab imam yang empat dengan mazhabnya Zaid bin Tsabit atau Muaz bin Jabal atau Abdullah bin Abbas dalam hal mereka mamahami hukum-hukum islam. Apa bedanya antara mazhab imam yang empat dengan Mazhab ar-Ro'yi di Irak dan Mazhab al-Hadis di Hijaz dan pimpinan-pimpinan dua mazhab ini merupakan para sahabat dan tabi'in yang terbaik dan semua orang awam taqlid kepada mereka.

Apakah para sahabat dan tabi'in ini juga dalam pandangan mereka juga ingin menyaingi mazhabnya Rasulullah saw?. Atau mereka akan mengatkan yang ingin menyaingi mazhab Rasulullah saw itu hanya mazhab yang empat ini, adapun mazhab sebelum mereka merupakan mazhab yang sohih yang memiliki kesamaan dengan mazhabnya Rasulullah saw. Kita tidak tahu perkataan mana yang benar di antara dua perkataan di atas, akan tetapi dua pernyataan di atas merupan dua pernyataan yang pahit lebih dari itu merupakan sebuah kedustaan dan fitnah.

Ma'azdallah (kita berlindung kepada Allah), tidak mungkin ijtihad-ijtihad dari para sahabat atau tabi'in dan semua ulama-ulama mujtahid yang telah berkhidmah kepada islam dengan menjelaskan apa yang datang dari Rasulullah saw yang merupakan wahyu dari tuhannya, ingin menyaingi mazhabnya Rasulullah saw. Bagaimana mungkin para mujtahid ini mereka anggap sebagai tandingan dari mazhabnya Rasulullah saw yang mana pada dasarnya semua pendapat mujtahid ini merupakan penjabaran dari kalam(perkataan) Rasulullah saw. (bersambung ke bagian 2)

(Disarikan dari buku Allaamazhabiyah Akhtoru Bid'ah Tuhadidu As-syariah Al-Islamiyah, karangan Doktor Muhammad Sayid Ramadhan Al-buuthy)

Dalil Wajibnya Bermazhab


Taqlid adalah mengikuti pendapat manusia tanpa mengetahui hujahterhadap kebenaran pendapat itu. Kebolehan mengikuti pendapat mereka dengan syarat  jika mereka memiliki kapasitas dan kemampuanuntuk mengetahui hujah yang ada dalam suatu dalil dan terpenuhinya syarat-syarat seorang mujtahid.

Manusia mukallaf, dalam memahami nash-nash hukum terbagi kepada dua yaitu mujtahid dan muqollid. Mujtahid adalah seseorang yang mampu memahami dan mengkaji hukum dari sumber aslinya yaitu al-Quran dan sunah, sedangkan muqollid adalah mereka yang tidak mampu mengkaji hukum secara lansung dari al-Quran dan sunah, akan tetapi mereka mengikuti apa yang telah dikaji oleh ulama-ulama mujtahid. Kadang-kadang seorang muqollid mengetahui dalil dari hujah yang digunakan oleh seorang mujtahid dalam satu permasalahan, namun ia tidak mampu mengolah dalil tersebut, sebagaimana Imam as-Saytibi membagi manusia mukallaf  kepada tiga yaitu mujtahid, muqollid dan muqollid yang mengetahui dalil.

Namun sangat kita sayangkan, kalimat taqlid ini telah mendapatkan kesan negatif di tengah-tengah masyarakat. Hal ini terjadi karena ketidak pahaman mereka yang mengingkari bermazhab dengan menyamaratan semua bentuk ketaqlidan. Tapi itu wajar, karena pada asalnya mereka memang mengingkaribertaqlid kepada imam-imam mazhab.

Namun sebenarnya ada dua macam taqlid dalam islam yaitu yang dibolehkan dan  bahkan diwajibkan, sebagaimana taqlid seorang awam kepada imam yang empat dan taqlid yang diharamkan seperti mengingkari apa yang diturunkan Allah SWT karena mengikuti nenek moyang, seperti yang dilakukan orang-orang kafir Qurais dulunya yang mengingkari al-Quran dan kerasulan Rasulullah saw hanya karena mereka takut kehilangan jabatan dan taqlid buta pada nenek moyang.

Semua ini mesti kita luruskan dan kita jelaskan, taqlid kepada al-Imam al-Arba'ah merupakan sebuah kewajiban bagi orang awam dalam memahami sebuah permasalahan dalam al-Quran dan sunah. Seseorang dikatakan awam karena mereka tidak memiliki kapasitas untuk mengolah dan memahami isi al-Quran dan sunah. Kalau mampu memahami isi dua asas islam ini, tentu ia bukan lagi dikatakan orang awam, namun ia adalah seorang mujtahid.

Berikut ini diantara dalil wajibnya seorang yang awam taqlid kepada Imam yang empat dalam memahami sebuah persoalan yang ada dalam al-Quran dan sunah:

Dalil Pertama: Al -Quran

1. Firman Allah SWT:

  فَاسْأَلُوا أَهْلَ الذِّكْرِ إِنْ كُنْتُمْ لَا تَعْلَمُونَ (النحل : 43)
Artinya: Maka bertanyalah kepada orang yang memiliki ilmu pengetahuan jika kamu tidak mengetahui ( An Nahal : 43)
Ulama telah menyepakati bahwasanya ayat ini merupakan perintah bagi orang awam untuk bertanya kepada orang yang mengetahui hukum dan dalil dalam persoalan agama. Setelah mengetahui jawaban dari yang ia tanyakan, maka kewajibannya adalah mengikutinya. 

2. Kemudian ayat yang serupa dengan ini firman Allah SWT:
وَمَا كَانَ الْمُؤْمِنُونَ لِيَنْفِرُوا كَافَّةً ۚ فَلَوْلَا نَفَرَ مِنْ كُلِّ فِرْقَةٍ مِنْهُمْ طَائِفَةٌ لِيَتَفَقَّهُوا فِي الدِّينِ وَلِيُنْذِرُوا قَوْمَهُمْ إِذَا رَجَعُوا إِلَيْهِمْ لَعَلَّهُمْ يَحْذَرُونَ ﴿التوبة :١٢٢﴾
Artinya: Dan tidak sepatutnya orang-orang mukmin itu semuanya pergi ke medan perang. Mengapa setiap golongan dari mereka tidak pergi untuk memperdalam pengetahuan agama mereka dan untuk memberi perinagatan kepada kaumnya apabila mereka telah kembali, agar mereka dapat menjaga dirinya ( Attaubah : 122)

Dalam ayat ini Allah melarang semua orang muslim untuk keluar berperang ke medan jihad. Namun Allah SWT memerintahkan agar sebagian dari setiap kaum untuk memperdalam pengetahuan agama mereka dan tidak ikut ke medan jihad. Sehingga jika saudara mereka telah kembali dari jihad, mereka bisa menjelaskan agama kepada mereka dan memberikan fatwa terhadap halal dan haram. Mereka mengikuti fatwa dan penjelasan mereka yang tinggal dirumah, mempelajari agama dan tidak pergi berperang. Bukankan ini bentuk dari sebuah ketaqlidan?
Dalil Kedua: Ijma' sahabat 

Para sahabat rodiyallahu 'anhum, memiliki kapasitas yang berbeda-beda dalam tingkatan ilmu. Tidaklah semua dari sahabat memiliki kemampuan untuk berijtihad. Akan tetapi hanya sedikit dari jumlah mereka yang bisa berijtihad dan berfatwa.

Rasulullah saw telah mengirim orang yang faqih dari kalangan sahabat ke daerah- daerah kekuasaan islam untuk menjelaskan islam dan memberikan fatwa dalam urusan agama. Mereka mengikuti utusanRasulullah saw ini dalam beramal, bermuamalah, beribadah dan dalam praktek hukum halal dan haram secara umumnya. Inilah salah satu gambaran taqlidnya para sahabat kepada utusan Rasulullah saw dalam beribadah dan beragama. Terkadang mereka menemukan sebuah permasalahan yang tidak ditemukan dalam Al-quran dan sunnah, maka para utusan ini berijtihad dalam hal itu dan sahabat yang tidak mampu berijtihad, taqlid kepada pendapat mereka yang mengetahui.

Imam Al-Ghozali dalam kitab "Al Mustashfa", pada bab taqlid dan istifta' menjelaskan dalil wajibnya bagi orang awam untuk taqlid kepada imam mujtahid adalah amalan dan ijma' sahabat dalam bertaqlid kepada mujtahid dari kalangan mereka.

Dalam hal ini seorang mujtahid dari sahabat memberikan fatwa kepada orang yang awam terhadap suatu persoalan dan tidak memerintahkan mereka untuk berijtihad sendiri. Apa yang diamalkan oleh para sahabat ini adalah sebuah hal yang telah dipahami dan telah mutawatir dikalangan ulama dan orangawam bahwa sebagian mereka berijtihad dan sebagian lain taqlid.

Pada zaman sahabat yang bisa dijadikan sandaran dalam berfatwa, mengetahui fiqih, riwayat hadis dan mampu beristinbath, hanyalah sebagian kecil saja dari mereka dan yang lain taqlid mengikuti para mujtahid ini. Diantara yang terkenal adalah Al-Khulafaur Rasyidun, Abdullah bin Masud, Abu Musa Al Asy'ari, Muaz Bin Jabal, Ubai bin Kaab, dan Zaid bin Tsabit. Adapun Muqallid dalam kalangan sahabat dalam bermazhab dan mengambil fatwa jumlah mereka sangat banyak.

Dalil Ketiga: Dalil 'Aqli

Bagi orang awam, diberikan dalil atau tidaknya bagi mereka sama saja. Sebab kalaupun diberikan dalil mereka juga tidak akan memahami dengan benar dan mengetahui cara beristinbat dengan ayat atau dalil tersebut. Maka kewajiban orang awam adalah taqlid kepada mujtahid, yang tentunya mereka lebih bisa memahami nash dan telah memenuhi syarat serta kelegalan dalam hal berfatwa. Jika saja orang awam ini bisa memahami dan beristinbat dari dalil yang ada dan dengan syarat-syarat tertentu, tentunya mereka tidak lagi dikatakan awam, akan tetapi mereka dikatakan seorang mujtahid.

Imam As-syatibi berkata: "Fatwa seorang Mujtahid bagi seorang awam seperti dalil, sebagaimana seorang mujtahid berdalil dengan Al-quran dan sunnah". Maksudnya, ada atau tidak adanya wujud dalil bagi muqollid sama saja. Sebab mereka juga tidak akan memahaminya. Dalam hal ini orang awam tidak boleh mengambil istinbat hukum sendiri dari dalil yang ada, karena tidak memiliki ilmu tentangnya. Maka kewajiban mereka adalah bertanya kepada orang yang mengetahui sebagai mana firman Allah SWT:

فَاسْأَلُوا أَهْلَ الذِّكْرِ إِنْ كُنْتُمْ لَا تَعْلَمُونَ ﴿الانبياء :٧﴾

Artinya: Maka bertanyalah kepada orang yang memiliki ilmu pengetahuan jika kamu tidak mengetahui. (Al Anbiya: 7).