Terlalu jauh rasanya jika saya
membandingkan antara dua orang ini. Karena memang mereka berdua tidaklah sama.
Namun demikian, kesamaan mereka
berdua sama-sama dipanggil "Buya". Yang mana bagi masyarakat Minangkabau,
gelar buya adalah semacam gelar penghormatan bak "Kiyai" di tanah
Jawa. Gelar yang hanya disematkan kepada para ulama yang diangap benar-benar
paham dengan agama dan jadi panutan dalam bertindak, bukan sekedar gelar
rakitan yang bisa disemat kesiapapun.
Siapa yang tidak kenal dan tidak
cinta dengan Buya Hamka. Ulama kharismatik yang tegas dan lantang dalam urusan
keyakinan dan aqidah. Selalu berada pada garda terdepan dalam perjuangan.
Bahkan jabatannyapun sebagai ketua MUI rela ia tinggalkan demi mempertahankan
aqidah umat.
Namun demikian, jabatan bukanlah
penyebab seorang ulama dicintai umatnya. Setelah Buya Hamka mengundurkan diri
dari Ketua MUI, karena ada tekanan dari pemerintah agar mencabut fatwa larangan
Natal bersama, beliau bahkan semakin dicintai oleh umat islam. Keberanian dan
kelantangan beliau dalam menyuarakan kebenaran tersebut sampai saat ini menjadi
contoh dan teladan bagi generasi penerus Buya Hamka hingga detik ini.
Semangat inilah yang kemudian
diwarisi para penerus Buya Hamka di MUI dan para ulama Tanah Air. Siapa yang
rela kitab sucinya dihina dan dinistakan. Akhirnya peristiwa ini membakar
semangat para ulama sebagaimana dulu yang telah terjadi di masa Buya kita
tercinta, Buya Hamka.
Namun saya sedih dengan keadaan
Buya Maarif. Berulang kali dan bukan sekali dua kali, statementnya seringkali
banyak melukai hati umat islam. Apa yang terjadi denganmu wahai Buya Maarif?
Saat umat islam terdiskriminasi
oleh kepentingan orang-orang berkekuasaan, seharusnya seorang "Buya"
lah yang menjadi pembela dan penguat perjuangan. Namun hal itu tidak kami
dapatkan pada sosok Buya yang satu ini. Ia bahkan sering kali ikut-ikutan
mendiskriminasi umat. Sekali lagi, ada apa dengan anda Buya Maarif?
Beberapa waktu yang lalu, Maarif Institute
mengeluarkan sebuah riset yang cukup menyakiti umat islam di
Indonesia khususnya warga Padang dan Banda Aceh. Bagaimana mungkin mereka menempatkan
dua kota tersebut di atas sebagai kota yang paling tidak islami di Indonesia.
Kemudian saat hari ini, disaat
umat islam mengharapkan ditegakkan keadilan kepada penghina al-Quran, ia malah
mati-matian membela si penghina Al-Quran. Dari sini saya mulai meragukan
keotentikan gelar buya nya.
Saya sangat geram dengan
pernyataan-pernyataannya yang begitu memojokkan umat islam dan ulamanya. Mana
wujud dari gelar yang selama ini ia sandang sebagai "Buya". Atau
memang selama ini kita salah memanggilnya dengan gelar Buya, entahlah...
Namun saya yakin, masih banyak
Buya Hamka-Buya Hamka lain yang dapat kita warisi semangat perjuangan dan
keteladannya. Walaupun Buya Hamka telah tiada, namun semangat itu selalu terasa
dan ada ditengah-tengah kita. Rahimahullah Buya Hamka.
0 komentar:
Posting Komentar