Minggu, 18 Desember 2016

ANTARA DUA BUYA, BUYA HAMKA DAN BUYA MAARIF


Terlalu jauh rasanya jika saya membandingkan antara dua orang ini. Karena memang mereka berdua tidaklah sama.

Namun demikian, kesamaan mereka berdua sama-sama dipanggil "Buya". Yang mana bagi masyarakat Minangkabau, gelar buya adalah semacam gelar penghormatan bak "Kiyai" di tanah Jawa. Gelar yang hanya disematkan kepada para ulama yang diangap benar-benar paham dengan agama dan jadi panutan dalam bertindak, bukan sekedar gelar rakitan yang bisa disemat kesiapapun.

Siapa yang tidak kenal dan tidak cinta dengan Buya Hamka. Ulama kharismatik yang tegas dan lantang dalam urusan keyakinan dan aqidah. Selalu berada pada garda terdepan dalam perjuangan. Bahkan jabatannyapun sebagai ketua MUI rela ia tinggalkan demi mempertahankan aqidah umat.

Namun demikian, jabatan bukanlah penyebab seorang ulama dicintai umatnya. Setelah Buya Hamka mengundurkan diri dari Ketua MUI, karena ada tekanan dari pemerintah agar mencabut fatwa larangan Natal bersama, beliau bahkan semakin dicintai oleh umat islam. Keberanian dan kelantangan beliau dalam menyuarakan kebenaran tersebut sampai saat ini menjadi contoh dan teladan bagi generasi penerus Buya Hamka hingga detik ini.

Semangat inilah yang kemudian diwarisi para penerus Buya Hamka di MUI dan para ulama Tanah Air. Siapa yang rela kitab sucinya dihina dan dinistakan. Akhirnya peristiwa ini membakar semangat para ulama sebagaimana dulu yang telah terjadi di masa Buya kita tercinta, Buya Hamka.

Namun saya sedih dengan keadaan Buya Maarif. Berulang kali dan bukan sekali dua kali, statementnya seringkali banyak melukai hati umat islam. Apa yang terjadi denganmu wahai Buya Maarif?

Saat umat islam terdiskriminasi oleh kepentingan orang-orang berkekuasaan, seharusnya seorang "Buya" lah yang menjadi pembela dan penguat perjuangan. Namun hal itu tidak kami dapatkan pada sosok Buya yang satu ini. Ia bahkan sering kali ikut-ikutan mendiskriminasi umat. Sekali lagi, ada apa dengan anda Buya Maarif?

Beberapa waktu yang lalu, Maarif Institute mengeluarkan  sebuah  riset yang cukup menyakiti umat islam di Indonesia khususnya warga Padang dan Banda Aceh. Bagaimana mungkin mereka menempatkan dua kota tersebut di atas sebagai kota yang paling tidak islami di Indonesia.

Kemudian saat hari ini, disaat umat islam mengharapkan ditegakkan keadilan kepada penghina al-Quran, ia malah mati-matian membela si penghina Al-Quran. Dari sini saya mulai meragukan keotentikan gelar buya nya.

Saya sangat geram dengan pernyataan-pernyataannya yang begitu memojokkan umat islam dan ulamanya. Mana wujud dari gelar yang selama ini ia sandang sebagai "Buya". Atau memang selama ini kita salah memanggilnya dengan gelar Buya, entahlah...


Namun saya yakin, masih banyak Buya Hamka-Buya Hamka lain yang dapat kita warisi semangat perjuangan dan keteladannya. Walaupun Buya Hamka telah tiada, namun semangat itu selalu terasa dan ada ditengah-tengah kita. Rahimahullah Buya Hamka.

0 komentar:

Posting Komentar