Tidak ada yang salah dengan
tulisan saudara saya yang bertajuk " Warga DKI Tidak Perlu Hiraukan Fatwa
MUI ", namun ajakan yang disuguhkan sangat berbahaya untuk keislaman di
Nusantara. Ajakan meninggalkan ulama merupakan sebuah perpalingan dari ajaan
Nabi yang agung ini. Justru sebaliknya, Rasulullah memberikan posisi kemuliaan
bagi para ulama. Bukankan Rasulullah telah berpesan bahwasannya beliau
mengatakan " para ulama adalah pewaris para Nabi ". Jikalaulah ulama
ditinggalkan, siapa lagi yang akan mengemban amanah Nubuwah ini. Meninggalkan
ulama, berarti sama saja dengan meninggalkan ajaran Rasulullah SAW.
MUI bagi saya adalah lembaga besar
yang mesti diikuti oleh muslimin Indonesia. Karena kalaulah bukan pada ulama
kita bertannya, terus kepada siapa lagi. Mungkin saja saudara saya ini
mengatakan, " kan ulama bukan di MUI saja, masih ada ulama NU atau
Muhammadiyah lainnya ". Betul, hak saudara untuk bertanya kepada ulama yang
lain. Namun perlu kita pahami bahwasannya kaedah Ushul fiqih mengatakan "
Ijtihad tidak bisa dibatalkan dengan ijtihad ". Silahkan cari ulama lain
yang memfatwakan boleh pilih Ahok, namun kita tidak pernah boleh mengatakan
jangan ikuti pendapat ulama itu, jangan hiraukan fatwa itu. Saya yakin kalau
antum benar-benar Azhar, antum pasti memahami kaedah tersebut.
Persoalan fatwa itu mengganggu
stabilitas Nasional dan kerukunan atau dianggap intoleran, itu hanyalah
perspektif pribadi yang bisa saja masing-masing kita memiliki perspektif yang
berbeda. Ada satu dimensi yang tidak bisa terbaca oleh seseorang sehingga ia
menganggap fatwa itu keliru dan salah. Bukan karena fatwanya salah, namun
ilmunya tidak bisa menjangkau sisi pesan yang ingin disampaikan. Ulama berfatwa
bisa saja memang itu pilihan yang mesti dipilih, atau karena memang seharus
diberi tahukan atau fatwa tersebut merupakan Akhaffu Ad-dhararain, yang mana
jika tidak disampaikan akan memunculkan mafsadah yang lebih besar lagi.
0 komentar:
Posting Komentar