Sebelum kita menjawab pertanyaan ini, mari
kita coba untuk menjawab pertanyaan-pertanyaan ini. Jika seseorang bertanya,
dimanakah kamu? Kita akan menjawab, saya berada di rumah atau disuatu tempat,
misalkan. Kemudian ia kembali bertanya, dimana rumah kamu? Rumah saya di RT
sekian, RW sekian, Kabupaten ini dan Provinsi ini dan Negara Indonesia. Sekarang
seseorang bertanya, dimanakah Indonesia? Indonesia berada pada Lintang sekian
dan Bujur sekian dan seterusnya.
Sekarang dimanakah bumi. Bumi berada pada
jajaran tata surya dalam Galaksi Bima Sakti. Sekang kita masih bisa bertanya,
dimana posisi Galaksi Bima Sakti. Galaksi Bima Sakti berada dalam satu bagian
dari berjuta-juta galaksi yang ada di alam. Sekarang pertanyaannya dimana alam
semesta? Sampai saat ini belum ada satu orangpun yang dapat menjawab dimanakah
alam ini berada, mereka para ilmuan masih terbatas untuk menjangkaunya. Kalau
saja kita tidak dapat menjawab dimana alam berada, bagaimana kita akan bisa
menanyakan dimana pencipta alam ini berada, sedangkan ciptaannya saja kita tak
mampu mengetahui dimana tempatnya?.
Allah SWT adalah Rab pencipta alam semesta
yang tidak ada sesuatupun yang menyerupainya. Allah ada tanpa tempat dan Allah
ada sebelum diciptakannya tempat. Allah SWT menjelaskan bahwasannya tidak ada
satupun yang menyerupai_Nya dari makhluknya. Allah SWT berfirman:
لَيْسَ
كَمِثْلِهِ شَيْءٌ وَهُوَ السَّمِيعُ الْبَصِير
Artinya: Tidak ada satupun yang menyerupainya
dan dia maha mendengar lagi maha melihat ( As-Syura:11).
Pertanyaan "dimana" merupakan pertanyaan untuk menunjukkan tempat suatu benda. Kalau saja pertanyaan ini kita tujukan kepada Allah SWT, tentu kita telah menyerupakan Allah SWT dengan suatu benda karena yang bertempat itu hanyalah makhluk atau benda yang diciptakan Allah SWT.
Maka pertanyaan seperti ini tidak layak di
nisbahakan kepada Allah SWT, karena pertanyaan ini hanya cocok disandarkan
kepada makhluknya.
Adapun sebagian orang yang berhujjah dengan hadis Jariyah, hadis ini memiki sangat banyak sekali Illah atau penyakit yang menyebabkan ia tidak bisa dipakai untuk berhujjah dalam persoalan akidah.
Salah satunya adalah hadis ini diriwayatkan dengan fersi yang berbeda-beda sehingga terjadi kontradiksi satu sama lain. Dalam ilmu hadis disebut "Al-Mutharrib", terjadi kegoncangan dari sisi matan karena saling kotradiksi satu sama lain. Maka hadis Al-Muthorrib tidak bisa digunakan dalam berhujjah apa lagi untuk masalah akidah.
Hadis Jariyah tentang pertanyaan "Ainallah" atau "Dimana Allah "
Sebagian orang berhujjah mengatakan
bahwasannya Allah SWT berada dilangit dengan sebuah hadis yang diriwayatkan
oleh Imam Muslim yang mengisahkan bahwasannya seseorang ingin memerdekakan
budak wanitanya dan Rasulullah menanyakan sebuah pertanyaan yaitu "
ainallah? " maka budak itu menjawab " fissamaa".
Hadits yang diriwayatkan oleh Mu’awiyah bin Al-Hakam As-Salami menceritakan ketika beliau hendak membebaskan (Jariah) hamba perempuannya, maka beliau bertanya kepada Rasulullah Shalallahu ‘alaihi wassalam. Kemudian beliau (Nabi Shalallahu ‘alaihi wassalam) menyuruh agar hamba tersebut dipanggil lalu beliau bersabda:
أَيْنَ اللَّهُ قَالَتْ فِي السَّمَاءِ قَالَ مَنْ أَنَا قَالَتْ أَنْتَ رَسُولُ اللَّهِ قَالَ أَعْتِقْهَا فَإِنَّهَا مُؤْمِنَةٌ
Di manakah Allah? dia menjawab: Di Langit beliau bertanya lagi : Siapa aku? Jawab Jariah: Kamu Rasulullah. Lalu beliau berkata: merdekakan dia karena dia adalah Mukminah.
Namun hadis ini telah mendapatkan banyak
bantahan dari para ulama dan menyimpulkan bahwasannya hadis ini tidak bisa
dijadikan hujjah untuk mengatakan kalau Allah berada dilangit dengan
alasan-alasan berikut ini:
1. Hadis Jariyah diatas, diriwayatkan dengan
lafaz-lafaz yangberbeda antara satu rawi dengan yang lain. Riwayat yang
disampaikan oleh Imam Muslim bertentangan dengan hadis yang diriwayatkan oleh
para imam yang lain.
Dalam sebuah hadis, lafal yang digunakan bukanlah " ainallah",
akan tetapi menggunakan kalimat " atashadiina alla ilaha illallah" (
apakah kamu bersaksi bahwasaanya tiada tuhan selain allah). Sebagaimana yang
diriwayatkan oleh bayak dari para ulama seperti Imam Malik dalam muwatta'nya,
Imam Ahmad bin Hanbal dalam Musnadnya, Imam Abdurrozak dalam Mushannafnya, Imam
Ad-darimi, Imam Al-Barraz, At-thabrani, Ibnu Abi Syaibah, dan Imam Al-baihaqi.
Hadis yang diriwayatkan dengan lafaz " Atashadiina alla ilah
illallah " dinilai shahih oleh para ulama. Imam Al-Haistami berkata dalam "Majma Al Zawaid": " Rijalu Ahmad Rijal yang shohih". Imam Ibnu
kasir berkata dalam tafsirnya " Sanadnya Shohih". Begitu juga Imam
Abdilbar menshahihkan hadis ini.
Hadis ini juga diriwayatkan dengan lafaz " Man Rabbuki ",
seperti yang diriwayatkan oleh Imam An-Nasai, Imam Abu Daud, Imam Ahmad, Imam
At-Thabrani, Ibnu Hibban, Imam Al-Hakim dan Imam Al-Baihaqi.
Setelah kita mengetahui perbedaan lafaz dari hadis-hadis di atas dan terjadinya
pertentangan satu sama lain, maka dalam ilmu ushul fiqih jika terjadi ta'arud
antara dalil-dalil, maka langkah yang digunakan adalah dengan mentarjih.
Maka ulama menrojihkan hadis dengan lafal yang kedua yaitu "
Atashadiina alla ilah illallah" karena hadis ini sesuai dengan hadis-hadis
mutawatir yang diriwatkan dari Rasulullah bahwasannya jika seseorang akan masuk
islam, maka ia disuruh bersyahadat seperti hadis " buniyal islam"
dan hadis " Umirtu an Uqatilannas hatta tashadiina alla ilah illallah
…".
2. Dalam riwayat yang riwayatkan oleh Imam Al-Baihaqi,
bahwasannya ia adalah seorang yang bisu dan dalam riwayat lain dikatakan
bahwasannya ia tidak bisa berbahasa arab.
3. Hadis yang ini bertentangan satu sama lain,
maka tidak bisa dipakai dalam berhujjah.
4. Hadis jariyah diatas bertentangan dengan
hadis mutawatir yang menyatakan bahwasaannya jika seseorang akan masuk islam,
maka ia disuruh membaca syahadat, bukan menanyakan pertanyaan diatas atau semisalnya.
5. Hadis di atas bertentangan dengan hadis
mutawatir :
أمرت أن أقاتل الناس حتى يشهدوا أن لا
إله إلا الله وأن محمدا رسول الله
6.
Hadis diatas bertentangan dengan ijmak, bahwasannya
jika seseorang akan masuk islam, maka ia harus bersyahadat.
7.
Salah satu perawi hadis ini adalah Yahya bin Abi
Kasir, dan sebagian ulama mengatakan bahwasannya ia adalah seorang "
Mudallis".
8.
Hadis ini adalah hadis ahad. Hadis ahad memiliki sifat
" Zhanniyud dilalah" dan hadis yang bersifat zhanny
tidak bisa dipakai untuk berhujjah dalam masalah akidah sebagaimana yang
dikatakan para ulama.
9.
Hadis ini berilal dari segi matan. Maka
walaupun diriwayatkan dari jalur yang sahih namun ia berpenyakit, maka tidak
ada lagi nilai kesahihan sanad jika ia memiliki ilal sebagai mana yang di
katakana oleh para ulama.
10. Tidak ada
satupun para imam hadis menuliskan hadis ini pada bab akidah. Akan tetapi :
a.
Imam Muslim menulisnya
dalam bab " Tahrim Al Kalam Fi As Sholah "
b.
Imam An-Nasa'
menulisnya dalam bab " Tahrim Al Kalam Fi As Sholah "
c.
Imam Malaik dalam Muawatta'
dalam bab " Al-Itq"
d.
Dalam Musnad Abi
hanifah dalam bab " Kafarah Al Yamin "
Kesimpulan: hadis diatas sangat
banyak memiliki masalah dan kekurangan, maka hadis tersebut tidak dapat
dijadikan hujjah. Wallahualam.
0 komentar:
Posting Komentar