Minggu, 18 Desember 2016

DIMANAKAH ALLAH ?


Sebelum kita menjawab pertanyaan ini, mari kita coba untuk menjawab pertanyaan-pertanyaan ini. Jika seseorang bertanya, dimanakah kamu? Kita akan menjawab, saya berada di rumah atau disuatu tempat, misalkan. Kemudian ia kembali bertanya, dimana rumah kamu? Rumah saya di RT sekian, RW sekian, Kabupaten ini dan Provinsi ini dan Negara Indonesia. Sekarang seseorang bertanya, dimanakah Indonesia? Indonesia berada pada Lintang sekian dan Bujur sekian dan seterusnya.

Sekarang dimanakah bumi. Bumi berada pada jajaran tata surya dalam Galaksi Bima Sakti. Sekang kita masih bisa bertanya, dimana posisi Galaksi Bima Sakti. Galaksi Bima Sakti berada dalam satu bagian dari berjuta-juta galaksi yang ada di alam. Sekarang pertanyaannya dimana alam semesta? Sampai saat ini belum ada satu orangpun yang dapat menjawab dimanakah alam ini berada, mereka para ilmuan masih terbatas untuk menjangkaunya. Kalau saja kita tidak dapat menjawab dimana alam berada, bagaimana kita akan bisa menanyakan dimana pencipta alam ini berada, sedangkan ciptaannya saja kita tak mampu mengetahui dimana tempatnya?.

Allah SWT adalah Rab pencipta alam semesta yang tidak ada sesuatupun yang menyerupainya. Allah ada tanpa tempat dan Allah ada sebelum diciptakannya tempat. Allah SWT menjelaskan bahwasannya tidak ada satupun yang menyerupai_Nya dari makhluknya.  Allah SWT berfirman:
لَيْسَ كَمِثْلِهِ شَيْءٌ وَهُوَ السَّمِيعُ الْبَصِير
Artinya: Tidak ada satupun yang menyerupainya dan dia maha mendengar lagi maha melihat ( As-Syura:11).

Pertanyaan "dimana" merupakan pertanyaan untuk menunjukkan tempat suatu benda. Kalau saja pertanyaan ini kita tujukan kepada Allah SWT, tentu kita telah menyerupakan Allah SWT dengan suatu benda karena yang bertempat itu hanyalah makhluk atau benda yang diciptakan Allah SWT.
Maka pertanyaan seperti ini tidak layak di nisbahakan kepada Allah SWT, karena pertanyaan ini hanya cocok disandarkan kepada makhluknya.

Adapun sebagian orang yang berhujjah dengan hadis Jariyah, hadis ini memiki sangat banyak sekali Illah atau penyakit yang menyebabkan ia tidak bisa dipakai untuk berhujjah dalam persoalan akidah.

Salah satunya adalah hadis ini diriwayatkan dengan fersi yang berbeda-beda sehingga terjadi kontradiksi satu sama lain. Dalam ilmu hadis disebut  "Al-Mutharrib", terjadi kegoncangan dari sisi matan karena saling kotradiksi satu sama lain. Maka hadis Al-Muthorrib tidak bisa digunakan dalam berhujjah apa lagi untuk masalah akidah.

Hadis Jariyah tentang pertanyaan "Ainallah" atau "Dimana Allah "

Sebagian orang berhujjah mengatakan bahwasannya Allah SWT berada dilangit dengan sebuah hadis yang diriwayatkan oleh Imam Muslim yang mengisahkan bahwasannya seseorang ingin memerdekakan budak wanitanya dan Rasulullah menanyakan sebuah pertanyaan yaitu " ainallah? " maka budak itu menjawab " fissamaa".

Hadits yang diriwayatkan oleh Mu’awiyah bin Al-Hakam As-Salami menceritakan ketika beliau hendak membebaskan (Jariah) hamba perempuannya, maka beliau bertanya kepada Rasulullah Shalallahu ‘alaihi wassalam. Kemudian beliau (Nabi Shalallahu ‘alaihi wassalam) menyuruh agar hamba tersebut dipanggil lalu beliau bersabda:


أَيْنَ اللَّهُ قَالَتْ فِي السَّمَاءِ قَالَ مَنْ أَنَا قَالَتْ أَنْتَ رَسُولُ اللَّهِ قَالَ أَعْتِقْهَا فَإِنَّهَا مُؤْمِنَةٌ


Di manakah Allah? dia menjawab: Di Langit beliau bertanya lagi : Siapa aku? Jawab Jariah: Kamu Rasulullah. Lalu beliau berkata: merdekakan dia karena dia adalah Mukminah.

Namun hadis ini telah mendapatkan banyak bantahan dari para ulama dan menyimpulkan bahwasannya hadis ini tidak bisa dijadikan hujjah untuk mengatakan kalau Allah berada dilangit dengan alasan-alasan berikut ini:
1.      Hadis Jariyah diatas, diriwayatkan dengan lafaz-lafaz yangberbeda antara satu rawi dengan yang lain. Riwayat yang disampaikan oleh Imam Muslim bertentangan dengan hadis yang diriwayatkan oleh para imam yang lain.

Dalam sebuah hadis, lafal yang digunakan bukanlah " ainallah", akan tetapi menggunakan kalimat " atashadiina alla ilaha illallah" ( apakah kamu bersaksi bahwasaanya tiada tuhan selain allah). Sebagaimana yang diriwayatkan oleh bayak dari para ulama seperti Imam Malik dalam muwatta'nya, Imam Ahmad bin Hanbal dalam Musnadnya, Imam Abdurrozak dalam Mushannafnya, Imam Ad-darimi, Imam Al-Barraz, At-thabrani, Ibnu Abi Syaibah, dan Imam Al-baihaqi.

Hadis yang diriwayatkan dengan lafaz " Atashadiina alla ilah illallah " dinilai shahih oleh para ulama. Imam Al-Haistami berkata dalam "Majma Al Zawaid": " Rijalu Ahmad Rijal yang shohih". Imam Ibnu kasir berkata dalam tafsirnya " Sanadnya Shohih". Begitu juga Imam Abdilbar menshahihkan hadis ini.

Hadis ini juga diriwayatkan dengan lafaz " Man Rabbuki ", seperti yang diriwayatkan oleh Imam An-Nasai, Imam Abu Daud, Imam Ahmad, Imam At-Thabrani, Ibnu Hibban, Imam Al-Hakim dan Imam Al-Baihaqi.

Setelah kita mengetahui perbedaan lafaz dari hadis-hadis di atas dan terjadinya pertentangan satu sama lain, maka dalam ilmu ushul fiqih jika terjadi ta'arud antara dalil-dalil, maka langkah yang digunakan adalah dengan mentarjih.

Maka ulama menrojihkan hadis dengan lafal yang kedua yaitu " Atashadiina alla ilah illallah" karena hadis ini sesuai dengan hadis-hadis mutawatir yang diriwatkan dari Rasulullah bahwasannya jika seseorang akan masuk islam, maka ia disuruh bersyahadat seperti hadis " buniyal islam" dan hadis " Umirtu an Uqatilannas hatta tashadiina alla ilah illallah …".
2.      Dalam riwayat yang riwayatkan oleh Imam Al-Baihaqi, bahwasannya ia adalah seorang yang bisu dan dalam riwayat lain dikatakan bahwasannya ia tidak bisa berbahasa arab.
3.      Hadis yang ini bertentangan satu sama lain, maka tidak bisa dipakai dalam berhujjah.
4.      Hadis jariyah diatas bertentangan dengan hadis mutawatir yang menyatakan bahwasaannya jika seseorang akan masuk islam, maka ia disuruh membaca syahadat, bukan menanyakan pertanyaan diatas atau semisalnya.
5.      Hadis di atas bertentangan dengan hadis mutawatir :
 أمرت أن أقاتل الناس حتى يشهدوا أن لا إله إلا الله وأن محمدا رسول الله
6.      Hadis diatas bertentangan dengan ijmak, bahwasannya jika seseorang akan masuk islam, maka ia harus bersyahadat.
7.      Salah satu perawi hadis ini adalah Yahya bin Abi Kasir, dan sebagian ulama mengatakan bahwasannya ia adalah seorang " Mudallis".
8.      Hadis ini adalah hadis ahad. Hadis ahad memiliki sifat " Zhanniyud dilalah" dan hadis yang bersifat zhanny tidak bisa dipakai untuk berhujjah dalam masalah akidah sebagaimana yang dikatakan para ulama.
9.      Hadis ini berilal dari segi matan. Maka walaupun diriwayatkan dari jalur yang sahih namun ia berpenyakit, maka tidak ada lagi nilai kesahihan sanad jika ia memiliki ilal sebagai mana yang di katakana oleh para ulama.
10.  Tidak ada satupun para imam hadis menuliskan hadis ini pada bab akidah. Akan tetapi :
a.       Imam Muslim menulisnya dalam bab " Tahrim Al Kalam Fi As Sholah "
b.      Imam An-Nasa' menulisnya dalam bab " Tahrim Al Kalam Fi As Sholah "
c.       Imam Malaik dalam Muawatta' dalam bab " Al-Itq"
d.      Dalam Musnad Abi hanifah dalam bab " Kafarah Al Yamin "

Kesimpulan: hadis diatas sangat banyak memiliki masalah dan kekurangan, maka hadis tersebut tidak dapat dijadikan hujjah. Wallahualam.


0 komentar:

Posting Komentar