Minggu, 18 Desember 2016

ULAMA SALAFI JUGA BERBEDA PENDAPAT ANTAR SESAMA

Telah terjadi perbedaan ulama, dalam memahami pengertian dan hakikat bid'ah. Sebagian ulama memperluas makna bid'ah dalam artian syareat. Salah satu konsep utama yang mereka pegang adalah dengan tidak mengatakan setiap apa yang tidak dilakukan oleh Rasulullah SAW dan salafussaleh. Akan tetapi berusaha menimbangnya dengan Qowaid hukum yang ada. Jika kasus ini sejalan dengan qowaid yang haram maka hukumnya haram, jika sesuai dengan qoidah wajib maka hukumnya wajib, demikian juga dengan sunnah, mubah dan makruh. Dalam hal ini Mayoritas ulama berada pada pada jalur ini.

Sebagian yang lain memahami artian bid'ah dengan pemahaman yang sempit. Jika kelompok yang pertama tidak serta merta menghukumi bid'ah sesuatu yang tidak dilakukan oleh Rasulullah SAW dan salafussaleh, namun kelompok yang kedua ini malah sebaliknya. Mereka lansung menghukumi setiap sesuatu yang baru muncul dan tidak dilakukan oleh Rasulullah SAW dan salafussoleh dengan bid'ah dan sesat walaupun sesuai dengan qowaid-qowaid hukum lainnya. Mereka berdalil dan berkata " jikalau saja perkara tersebut baik, tentunya mereka telah mendahului kita dalam melakukannya". Dalam hal ini terdapat sekelompok Ulama yang mengaatakan merekalah pengikut salaf dan kemudian menisbahkan dirinya kebapad salaf, maka jadilah mereka salafi.

Pengikut kelompok kedua ini akhirnya berkembang dan menyebar dikalangan pelajar dan penuntut ilmu. Sehingga sebagian mereka memegang erat satu kaedah yang dipahami oleh ulama mereka dan akhirnya sebagian dari penuntut ilmu bayak yang tergesa-gesa menghukumi setiap persoalan. Mereka lansung menghukumi setiap persolah dengan bid'ah jika saja menurut mereka hal tersebut tidak dilakukan oleh oleh Rasulullah SAW para salafussoleh. Terkhusus pada kasus kasus kekinian yang terjadi.

Persoalan bid'ah membid'ahkan bukanlah persoaln mudah dan ringan. Jika seseorang mengatakan kepada saudaranya bahwa ia adalah ahlu bid'ah, maka secara tidak lansung ia telah menhukumi kesesatan saudaranya dan para ulama lainnya. Jika seseorang menghukumi sebuah hal dengan bid'ah, maka secara tidak lansung orang-orang yang melakukannya adalah pelaku bid'ah. Bukan hanya mereka akan membid'ahkan saudaranya yang awam, namun juga banyak dari ulama, bahkan mereka juga secara tidak lansung menyesatkan ulama-ulama yang mereka agung-agungkan.

Mungkin banyak yang tidak tahu, walaupun ulama-ulama yang mempersempit makna bid'ah sepakat dengan satu kaedah yang mereka usung dan selalu mereka bawa yaitunya " segala sesuatu yang tidak dilakukan oleh Rasulullah dan salafussaleh adalah bid'ah dan sesat, karena kalaulah saja perkara tersebut baik, tentunya mereka telah mendahului kita dalam perkara tersebut", akan tetapi mereka dalam banyak kasusu tetap berbeda pendapat antara satu sama lain. Perbedaan tersebut terjadi ketika mereka menghukumi perkara baru yang tidak pernah ada pada zaman Rasulullah SAW dan salafussaleh. Seharusnya jika saja mereka istiqomah dengan kaedah yang mereka pahami, tentulah mereka tidak akan mungkin lagi berbeda dalam memandang sebuah hukum. Bukanlak ketika seseorang menghukumi sebuah hal bid'ah jika, maka secara tidak lansung orang yang membolehkan perkara tersebut adalah pelaku bid'ah. Hal inilah yang kita pahami dari konsep yang mereka pahami.

Dalam hal ini, penulis mencoba menyarikan beberapa kasus yang ditulis oleh Dr. Al-Afraj dalam kitabnya Mafhum Al-Bid'ah yang mengungkap perbedaan-perbedaan ijtihad dikalang ulama yang mempersempit makna bid'ah. Diantara ulama yang mempersempit makna bid'ah yang kemudian membandingkan pendapat-pendapat mereka diantaranya Syeikh Nasiruddin Al-Bani, Syeikh Syeikh Muhammad Bin Utsaimin, Syeikh Abdul Aziz Bin Baz, Syeikh Saleh Al-Fauzan dan Syeikh Abdullah Bin Jibrin.

1.      Mengkhususkan hari jum'at untuk ziarah kubur.
Jumhur Ahlussunnah wal Jama'ah sepakat disunnahkannya menziarahi kubur kapan saja berdasarkan keumuman hadis " Dulu saya pernah melarang kalian untuk menziarahi kubur, sekarang ziarahilah ". Pada sebagian Atsar disebutkan keutamaan ziarah kubur pada hari jumat dan ulama telah membahasnya dan sebagian mengambilnya dan sebagian lain menolaknya.

Ulama yang mempersempit makna bid'ah berbeda pendapat berbeda pendapat dalam masalah ini.
Syeikh Abdul Aziz Bin Baz menghukumi mengkhususkan ziarah kubur pada hari jumat dengan bid'ah. Dalam Kitabnya yang berjudul Majmu Fatawa Wa Maqolat Mutanawwiah jilid 13 halaman 336, bahwa Syeikh ditanya tentang hukum mengkhususkan ziara kubur pada hari jumat, maka beliau berkata: " Tidak ada asal dari perbuatan tersebut. yang di perbolehkan adalah menziarahi kubur kapan saja yang mudah dilakukan, baik itu siang atau malam. Adapun mengkhususkannya dengan hari tertentu atau malam tertentu, maka hukumnya bid'ah dan tidak ada dasarnya … "

Syeikh Muhammad Bin Utsaimin menfatwakan tidak ada asal dalam mensunahkan hari-hari tertentu dalam ziarah kubur sebagaimana beliau sebutkan dalam Fatawa At-Tauhid Wa Al-Aqidah yang tertulis dalam situs beliau.

Begitu juga Syeikh Shalih Al-Fauzan yang memfatwakan tidak ada dasar dalam mengkhususkan waktu ziarah kubur, namun diziarahi kapan saja. Hal ini beliau ungkapkan pada fatwa nomor 9985 pada halaman situsnya.

Berbeda dengan tiga orang Syeikh di atas, Syeikh Abdullah Bin Jibrin memfatwakan kebolehan mengkhususkan ziarah kubur pada hari jumat. Dalam sebuah fatwanya yang tertulis dalam kitab Al-Kanzu As-Tsamin halaman 83 yang merupakan kumpulan fatwa dan risalahnya, beliau berkata: " tidak ada batas waktu tertentu dalam menziarahi kubur, namun sebagian ulama mengutamakan pada hari jumat dan yang lain mengutamakan hari sabtu. Akan tetapi kapanpun waktu yang memudahkanmu menziarahinya, maka ziarahilah….".

Dalam kesempatan lain, Syeikh Abdullah Bin Jibrin mengatakan ada hadis yang menjelaskan keutamaan ziarah kubur pada hari jumat. Maka beliau ditanya tentang mengkhususkan hari jumat beberapa waktu dari hari tersebut untuk ziarah kubur, karena hari itu adalah hari libur. Apakah hal semacam ini termasuk kepada Bid'ah?. Syeikh menjawab: " Hal tersebut tidaklah termasuk bid'ah, karena ada sebagian dalil yang mennunjukkan bahwa ziarah kubur dilakukan pada hari jumat … selama kamu tidak bermaksud mengkhususkannya untuk ziarah, namun dikarenakan hanya hari tersebut yang engkau bisa, maka tidak ada dosa insyaallah. Memang disebagian dalil disebutkan pengkhususan ziara pada hari jumat, namun hal ini tidak lah kuat".

Sebenarnya yang ingin disampaikan ketika mengutip fatwa ulama-ulama ini adalah nasehat kepada para penuntut ilmu agar tidak terlalu tasyaddud dan kaku dalam menilai sebuah perbedaan. Kalau saja mesti demikian, maka salah satu dari dua hal ini mesti terjadi, yaitu menghukumi bid'ah Syeikh Jibrin yang membolehkan mengkhususkan ziarah pada hari jumat atau menyalahkan mereka yang membid'ahkan ziarah kubur pada hari jumat.

Akan tetapi jalan harus kita ambil dari perbedaan ini adalah menerima perbedaan tersebut dan saling memahami terhadap zuruf masing-masing. Karena disetiap permasalahn ijtihadiah yang terjadi padanya perbedaan, masing-masing ulama telah berijtihad dengan kesungguhannya hanya untuk sebuah kebenaran. Setiap mereka mempunyai dalil sesuai menurut pendapat mereka. maka sikap seperti inilah yang mesti dijunjung oleh setiap orang yang mengaku penuntut ilmu syari'.

2.      Menggunakan Tasbih untuk berzikir.
Ulama sepakat menggunakan ujung jari untuk bertasbih dab berzikir karena merupakan sunah rasulullah SAW. Kemudian sebagian sahabat menjadikan kerikil dan bijian untuk menghitung jumlah zikir, tasbih meliki fungsi yang sama dengannya dan Nabi SAW menetapkan amalan sahabat tersebut. Sebagaimana hadis Saad bin Abi waqos yang diriwayatkan oleh Abu Daud, Tirmizi dan Hakim bahwasannya ia bersama Nabi SAW menemui seorang perempuan dan di tangannya terdapat kerikil atau bijian. Juga dalam hadis lain yang tiriwayatkan oleh Tirmizi dan Hakim bahwasannya Rasulullah menemui istri beliau Sofiah Ra. dan di tangannya terdapat 4000 biji-bijian dan bertasbih dengannya.
Dalam permasalahan ini banyak diantara ulama yang mempersempit makna bid'ah membolehkan menggunakan tasbih untuk berzikir dan bertasbih. Sebagaimana Syeikh Abdul Aziz Bin Baz membolehkannya, sebagaimana tercantum dalam Fatawa Nur di situs pribadinya. Beliau berkata: " Jika seseorang menghitung jumlah berzikir dengan tasbih atau kerikil,maka hal tersebut tiding mengapa, akan tetapi menggunakan jari lebih afdhol…".

Begitu juga dengan Syeikh Muhammad Bin Utsaimin ketika beliau ditanya tenteng menggunakan tasbih, apakah ia bid'ah. Beliau menjawab " Pertama, bertasbih menggunakan tasbih meninggalkannya lebih afdhal akan tetapi bukan sebuah bid'ah karena tidak ada asalnya. Hanya saja sebagian sahabat bertasbih menggunakan biji-bijian, akan tetapi Nabi SAW mengajarkan bahwasannya menggunakan tasbih lebih utama. Oleh karenanya, menggunakan tasbih tidak haram juga tidak bid'ah namun meninggalkannya lebih utama …".


0 komentar:

Posting Komentar