Telah terjadi perbedaan ulama,
dalam memahami pengertian dan hakikat bid'ah. Sebagian ulama memperluas makna
bid'ah dalam artian syareat. Salah satu konsep utama yang mereka pegang adalah
dengan tidak mengatakan setiap apa yang tidak dilakukan oleh Rasulullah SAW dan
salafussaleh. Akan tetapi berusaha menimbangnya dengan Qowaid hukum yang ada.
Jika kasus ini sejalan dengan qowaid yang haram maka hukumnya haram, jika
sesuai dengan qoidah wajib maka hukumnya wajib, demikian juga dengan sunnah,
mubah dan makruh. Dalam hal ini Mayoritas ulama berada pada pada jalur ini.
Sebagian yang lain memahami artian
bid'ah dengan pemahaman yang sempit. Jika kelompok yang pertama tidak serta
merta menghukumi bid'ah sesuatu yang tidak dilakukan oleh Rasulullah SAW dan
salafussaleh, namun kelompok yang kedua ini malah sebaliknya. Mereka lansung
menghukumi setiap sesuatu yang baru muncul dan tidak dilakukan oleh Rasulullah
SAW dan salafussoleh dengan bid'ah dan sesat walaupun sesuai dengan
qowaid-qowaid hukum lainnya. Mereka berdalil dan berkata " jikalau saja
perkara tersebut baik, tentunya mereka telah mendahului kita dalam
melakukannya". Dalam hal ini terdapat sekelompok Ulama yang mengaatakan
merekalah pengikut salaf dan kemudian menisbahkan dirinya kebapad salaf, maka
jadilah mereka salafi.
Pengikut kelompok kedua ini
akhirnya berkembang dan menyebar dikalangan pelajar dan penuntut ilmu. Sehingga
sebagian mereka memegang erat satu kaedah yang dipahami oleh ulama mereka dan
akhirnya sebagian dari penuntut ilmu bayak yang tergesa-gesa menghukumi setiap
persoalan. Mereka lansung menghukumi setiap persolah dengan bid'ah jika saja
menurut mereka hal tersebut tidak dilakukan oleh oleh Rasulullah SAW para
salafussoleh. Terkhusus pada kasus kasus kekinian yang terjadi.
Persoalan bid'ah membid'ahkan
bukanlah persoaln mudah dan ringan. Jika seseorang mengatakan kepada saudaranya
bahwa ia adalah ahlu bid'ah, maka secara tidak lansung ia telah menhukumi
kesesatan saudaranya dan para ulama lainnya. Jika seseorang menghukumi sebuah
hal dengan bid'ah, maka secara tidak lansung orang-orang yang melakukannya
adalah pelaku bid'ah. Bukan hanya mereka akan membid'ahkan saudaranya yang
awam, namun juga banyak dari ulama, bahkan mereka juga secara tidak lansung
menyesatkan ulama-ulama yang mereka agung-agungkan.
Mungkin banyak yang tidak tahu,
walaupun ulama-ulama yang mempersempit makna bid'ah sepakat dengan satu kaedah
yang mereka usung dan selalu mereka bawa yaitunya " segala sesuatu yang
tidak dilakukan oleh Rasulullah dan salafussaleh adalah bid'ah dan sesat,
karena kalaulah saja perkara tersebut baik, tentunya mereka telah mendahului
kita dalam perkara tersebut", akan tetapi mereka dalam banyak kasusu tetap
berbeda pendapat antara satu sama lain. Perbedaan tersebut terjadi ketika
mereka menghukumi perkara baru yang tidak pernah ada pada zaman Rasulullah SAW
dan salafussaleh. Seharusnya jika saja mereka istiqomah dengan kaedah yang
mereka pahami, tentulah mereka tidak akan mungkin lagi berbeda dalam memandang
sebuah hukum. Bukanlak ketika seseorang menghukumi sebuah hal bid'ah jika, maka
secara tidak lansung orang yang membolehkan perkara tersebut adalah pelaku
bid'ah. Hal inilah yang kita pahami dari konsep yang mereka pahami.
Dalam hal ini, penulis mencoba
menyarikan beberapa kasus yang ditulis oleh Dr. Al-Afraj dalam kitabnya Mafhum
Al-Bid'ah yang mengungkap perbedaan-perbedaan ijtihad dikalang ulama yang
mempersempit makna bid'ah. Diantara ulama yang mempersempit makna bid'ah yang
kemudian membandingkan pendapat-pendapat mereka diantaranya Syeikh Nasiruddin
Al-Bani, Syeikh Syeikh Muhammad Bin Utsaimin, Syeikh Abdul Aziz Bin Baz, Syeikh
Saleh Al-Fauzan dan Syeikh Abdullah Bin Jibrin.
1.
Mengkhususkan hari jum'at untuk ziarah kubur.
Jumhur Ahlussunnah wal Jama'ah
sepakat disunnahkannya menziarahi kubur kapan saja berdasarkan keumuman hadis
" Dulu saya pernah melarang kalian untuk menziarahi kubur, sekarang
ziarahilah ". Pada sebagian Atsar disebutkan keutamaan ziarah kubur pada
hari jumat dan ulama telah membahasnya dan sebagian mengambilnya dan sebagian
lain menolaknya.
Ulama yang mempersempit makna
bid'ah berbeda pendapat berbeda pendapat dalam masalah ini.
Syeikh Abdul Aziz Bin Baz
menghukumi mengkhususkan ziarah kubur pada hari jumat dengan bid'ah. Dalam Kitabnya
yang berjudul Majmu Fatawa Wa Maqolat Mutanawwiah jilid 13 halaman 336,
bahwa Syeikh ditanya tentang hukum mengkhususkan ziara kubur pada hari jumat,
maka beliau berkata: " Tidak ada asal dari perbuatan tersebut. yang di
perbolehkan adalah menziarahi kubur kapan saja yang mudah dilakukan, baik itu
siang atau malam. Adapun mengkhususkannya dengan hari tertentu atau malam
tertentu, maka hukumnya bid'ah dan tidak ada dasarnya … "
Syeikh Muhammad Bin Utsaimin
menfatwakan tidak ada asal dalam mensunahkan hari-hari tertentu dalam ziarah
kubur sebagaimana beliau sebutkan dalam Fatawa At-Tauhid Wa Al-Aqidah yang
tertulis dalam situs beliau.
Begitu juga Syeikh Shalih
Al-Fauzan yang memfatwakan tidak ada dasar dalam mengkhususkan waktu ziarah
kubur, namun diziarahi kapan saja. Hal ini beliau ungkapkan pada fatwa nomor
9985 pada halaman situsnya.
Berbeda dengan tiga orang Syeikh
di atas, Syeikh Abdullah Bin Jibrin memfatwakan kebolehan mengkhususkan ziarah
kubur pada hari jumat. Dalam sebuah fatwanya yang tertulis dalam kitab Al-Kanzu
As-Tsamin halaman 83 yang merupakan kumpulan fatwa dan risalahnya, beliau
berkata: " tidak ada batas waktu tertentu dalam menziarahi kubur, namun
sebagian ulama mengutamakan pada hari jumat dan yang lain mengutamakan hari
sabtu. Akan tetapi kapanpun waktu yang memudahkanmu menziarahinya, maka
ziarahilah….".
Dalam kesempatan lain, Syeikh
Abdullah Bin Jibrin mengatakan ada hadis yang menjelaskan keutamaan ziarah
kubur pada hari jumat. Maka beliau ditanya tentang mengkhususkan hari jumat
beberapa waktu dari hari tersebut untuk ziarah kubur, karena hari itu adalah
hari libur. Apakah hal semacam ini termasuk kepada Bid'ah?. Syeikh menjawab:
" Hal tersebut tidaklah termasuk bid'ah, karena ada sebagian dalil yang
mennunjukkan bahwa ziarah kubur dilakukan pada hari jumat … selama kamu tidak
bermaksud mengkhususkannya untuk ziarah, namun dikarenakan hanya hari tersebut
yang engkau bisa, maka tidak ada dosa insyaallah. Memang disebagian dalil
disebutkan pengkhususan ziara pada hari jumat, namun hal ini tidak lah
kuat".
Sebenarnya yang ingin disampaikan
ketika mengutip fatwa ulama-ulama ini adalah nasehat kepada para penuntut ilmu
agar tidak terlalu tasyaddud dan kaku dalam menilai sebuah perbedaan. Kalau
saja mesti demikian, maka salah satu dari dua hal ini mesti terjadi, yaitu menghukumi
bid'ah Syeikh Jibrin yang membolehkan mengkhususkan ziarah pada hari jumat atau
menyalahkan mereka yang membid'ahkan ziarah kubur pada hari jumat.
Akan tetapi jalan harus kita ambil
dari perbedaan ini adalah menerima perbedaan tersebut dan saling memahami
terhadap zuruf masing-masing. Karena disetiap permasalahn ijtihadiah yang
terjadi padanya perbedaan, masing-masing ulama telah berijtihad dengan
kesungguhannya hanya untuk sebuah kebenaran. Setiap mereka mempunyai dalil
sesuai menurut pendapat mereka. maka sikap seperti inilah yang mesti dijunjung
oleh setiap orang yang mengaku penuntut ilmu syari'.
2.
Menggunakan Tasbih untuk berzikir.
Ulama sepakat menggunakan ujung
jari untuk bertasbih dab berzikir karena merupakan sunah rasulullah SAW.
Kemudian sebagian sahabat menjadikan kerikil dan bijian untuk menghitung jumlah
zikir, tasbih meliki fungsi yang sama dengannya dan Nabi SAW menetapkan amalan
sahabat tersebut. Sebagaimana hadis Saad bin Abi waqos yang diriwayatkan oleh
Abu Daud, Tirmizi dan Hakim bahwasannya ia bersama Nabi SAW menemui seorang
perempuan dan di tangannya terdapat kerikil atau bijian. Juga dalam hadis lain
yang tiriwayatkan oleh Tirmizi dan Hakim bahwasannya Rasulullah menemui istri
beliau Sofiah Ra. dan di tangannya terdapat 4000 biji-bijian dan bertasbih
dengannya.
Dalam permasalahan ini banyak
diantara ulama yang mempersempit makna bid'ah membolehkan menggunakan tasbih
untuk berzikir dan bertasbih. Sebagaimana Syeikh Abdul Aziz Bin Baz
membolehkannya, sebagaimana tercantum dalam Fatawa Nur di situs
pribadinya. Beliau berkata: " Jika seseorang menghitung jumlah berzikir
dengan tasbih atau kerikil,maka hal tersebut tiding mengapa, akan tetapi
menggunakan jari lebih afdhol…".
Begitu juga dengan Syeikh Muhammad
Bin Utsaimin ketika beliau ditanya tenteng menggunakan tasbih, apakah ia
bid'ah. Beliau menjawab " Pertama, bertasbih menggunakan tasbih
meninggalkannya lebih afdhal akan tetapi bukan sebuah bid'ah karena tidak ada
asalnya. Hanya saja sebagian sahabat bertasbih menggunakan biji-bijian, akan
tetapi Nabi SAW mengajarkan bahwasannya menggunakan tasbih lebih utama. Oleh
karenanya, menggunakan tasbih tidak haram juga tidak bid'ah namun
meninggalkannya lebih utama …".
0 komentar:
Posting Komentar